Artikel Buletin An-Nur :
Shahabat Nabi SAW Meluruskan Penyelewengan
Rabu, 07 April 04
Meluruskan penyeleweng dan membela agama Allah termasuk jihad fi sabilillah yang paling utama, karena di sini terdapat perjuangan besar untuk menegakkan yang haq, menumbang-kan penyelewengan, menyingkap tabir syubhat dan sekaligus nasehat kepada kaum muslimin, mencintai dan membela mereka.
Para shahabat Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Salam selaku orang-orang yang paling dalam ilmunya, paling sempurna pengetahuannya tentang apa yang dinamakan kebaikan dan keburukan, dan paling faham tentang tingkatan amal shaleh mereka semua memberikan perhatian serta perjuangan yang besar dan perilaku yang terpuji dalam melawan kebid’ah-an dan membela Sunnah Nabawiyah.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taymiyah: “Para shahabat adalah orang yang paling besar keimanan dan perjuangannya dibanding orang-orang yang setelahnya, hal ini karena kesempurnaan pengetahuan dan rasa cinta mereka terhadap kebaikan, juga karena fahamnya mereka terhadap keburukan serta kebencian mereka terhadapnya”. Sampai pada ucapan beliau: “Demikian pula orang yang pernah terjun dan berkecimpung bersama ahli bid’ah dan maksiat, lalu Allah memberinya petunjuk sehingga bertaubat dan memberinya kekuatan untuk berjuang di jalanNya, maka perjuangan dan segala usaha untuk menjelaskan keburukan yang pernah ia lakukan dan memeranginya adalah lebih utama dibanding selainnya. Berkata Na’im bin Hammad Al-Khaza’i seorang yang sangat anti Jahmiyah: “Aku adalah orang yang sangat keras terhadap mereka, karena dulunya aku bagian dari mereka.” ( Majmu’ Al-Fatawa 10/301, 303).
Metode Shahabat Dalam Meluruskan Penyeleweng
1. Meniru cara dan sikap Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Salam dalam menghadapi penyeleweng.
Ini ditunjukkan dalam hadits dari Abdullah bin Amr bin Ash Radhiallaahu anhu , bahwa pada suatu hari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Salam keluar rumah sedangkan orang-orang ketika itu sedang memperbincangkan masalah qadar (takdir), maka spontan saja merahlah muka beliau seperti rona buah delima yang merekah karena kemarahan yang besar, lalu bersabda:
“Ada apa kalian semua ini, saling mempertentangkan kitabullah antara yang satu dengan yang lain? Karena masalah inilah orang-orang sebelum kalian menjadi celaka!” Berkata Abdullah bin Amr: “Maka tiadalah keinginan bagiku untuk tidak menghadiri majlis Rasulullah selain daripada majlis ini, rasanya ingin aku untuk tidak berada ditempat itu”. [HR Ahmad 2/78, Ibnu Majah (85)].
Cara ini ditiru oleh Abdullah bin Umar bin Khathab Radhiallaahu anhu tatkala sampai kepadanya perihal sekelompok orang yang ingkar takdir maka iapun marah besar, hingga perawi mengatakan: “Andai saja aku tidak menanyakan hal ini kepadanya”(Ushul-Al Lalikai 3/588).
Demikian pula Ibnu Abbas Radhiallaahu anhu ketika diberitahu tentang seorang yang mendustakan takdir ia langsung berkata: “Tunjukkan kepadaku orang itu!” Padahal waktu itu beliau dalam keadaan buta, maka orang-orang lalu bertanya: “Apa yang mau anda lakukan terhadap orang tersebut?” Beliau menjawab: “Demi Dzat yang jiwaku ada ditanganNya jika aku mampu maka akan aku gigit hidungnya hingga putus atau kalau aku bisa memegang lehernya maka aku akan memukulnya”. (Ushul Al Lalikai 3/625 dan As Sunnah Abdullah bin Imam Ahmad 2/416).
2. Ketika meluruskan penyeleweng tergabung dalam diri para shahabat antara ilmu dan amal dengan cinta dan belas kasih.
Abu Umamah Al Bahiliy salah seorang yang selalu mengatakan kebenaran dan penyayang terhadap sesama makhluk, suatu ketika ia meli-hat tujuh puluh kepala orang Khawarij yang terpenggal dan diletakkan di tangga-tangga kota Damaskus, ia teriakkan kebenaran di hadapan orang-orang: “Subhanallah! Apa yang diperbuat oleh syetan untuk menyesatkan anak Adam, anjing-anjing Jahannam, benar-benar suatu kematian yang buruk dan tragis!” Lalu ia berkata kapada salah seorang temannya : “Sungguh kamu berada di bumi yang banyak dihuni oleh orang-orang seperti mereka, mudah-mudahan Allah men-jagamu dari mereka”, lalu ia menangis seraya mengatakan: “Aku menangis karena kasihan kepada mereka yaitu ketika aku melihat mereka dulunya adalah orang Islam.” (Al Fath Ar Rabbaniy-As Sa’aty 23/160, As Sunnah-Abdullah bin Imam Ahmad 2/644, Al I’tisham-Asy Syatibi 1/71-73, Al Adab Asy Syar’iyyah-Ibnu Muflih 2/24).
3. Seia sekata dalam masalah aqidah dan selainnya baik lafal maupun makna.
Tidak terlihat di antara mereka perselisihan pendapat sehingga ketika mereka ditanya tentang suatu masalah maka jawaban yang mereka berikan rata-rata sama. Sebagai contoh apa yang pernah diriwayatkan oleh Ibnu Ad Dailamiy, ia berkata: “Aku pernah mendatangi Ubay bin Ka’ab dan bertanya: “Wahai Abul Mundzir! Sungguh di hatiku ada yang mengganjal dari perkara takdir, maka sampaikanlah kepadaku sesuatu yang dengannya mudah-mudahan Allah melenyapkan keraguanku itu!” Beliau menjawab: “Sesungguhnya Allah Subhannahu wa Ta’ala jika mengadzab penduduk langit dan bumi maka Dia mengadzabnya dengan tanpa menzhalimi sedikitpun, dan jikalau mencurahkan rahmatNya maka rahmatNya itu lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. Meskipun kamu menginfakkan emas sebesar gunung Uhud dijalan Allah maka Allah tidak akan menerimanya sehingga kamu beriman terhadap takdir dan engkau tahu bahwa apa saja yang menimpamu pasti tidak akan meleset dan apa saja yang luput darimu pasti tidak akan menimpa, jikalau kamu mati tidak dalam keadaan demikian maka akan masuk neraka, cobalah kau tanyakan masalah ini kepada Ibnu Mas’ud! Maka aku mendatangi Abdullah Ibnu Mas’ud dan ternyata jawaban yang diberikan sama, lalu Ibnu Mas’ud berkata: “Datanglah kamu kepada Hudzaifah Ibnul Yaman”! Maka akupun mendatanginya dan bertanya ternyata jawabannya juga sama seperti tadi, Hudzaifah lalu berkata: “Temuilah Zaid bin Tsabit!” maka akupun mendatanginya dan dijawab olehnya sebagaimana jawaban di atas. (Riwayat Ahmad 5/182), lihat juga As Sunnah –Abdullah bin Imam Ahmad 2/388 dan Ushul Al Lalikai 3/612, 673.
4. Ilmu yang mendalam merupakan dasar untuk menyikapi orang-orang yang menyimpang.
Sehingga kalimat yang disampaikan meskipun terlihat ringkas namun mengandung banyak pengertian dan faidah, dan di sini nampak sekali keluasan sikap dan keadilan mereka dalam menyikapi persoalan demi persoalan. Ini sebagaimana yang terungkap dari ucapan shahabat Umar ra dalam menyikapi orang Nashara ia berkata: “Hinakanlah mereka dan jangan menzhalimi mereka, sungguh mereka telah mencela Allah dengan celaan yang belum pernah dilakukan oleh seorangpun”. (Ighatsatul Lahfan, Ibnul Qayyim ta’liq Muhammad Afifi 2/398). Dalam hal ini ucapan beliau “Hinakanlah mereka” menunjukkan sikap bara’ dan benci kepada orang kafir. Sedangkan ucapan beliau, “Janganlah menzhalimi mereka” menunjukkan sikap adil terhadap mereka.
Maka di sini shahabat Umar mem-bedakan antara pergaulan secara baik terhadap orang kafir dengan sikap benci terhadap mereka yang mana kedua hal ini tidak boleh bercampur jadi satu, maksudnya jangan sampai sikap adil terhadap mereka menyebabkan cinta dan wala’, begitu pula jangan sampai kebencian dan permusuhan kita menyeret kepada perilaku zhalim dan melampaui batas.
5. Para shahabat menyikapi para penyimpang berlandaskan ketajaman pemikiran dan ketelitian pemahaman.
Sebagaimana diriwayatkan bahwa Atho’ bin Yassar pernah bertanya kepada Sa’id Al Khudhriy tentang Haruriyah (Khawarij), ia bertanya : “Pernahkah Anda mendengar Rasulullah menyebut-kan tentangnya? “Abu Sa’id menjawab: “Aku tidak tahu persis siapa Haruriyah itu. Hanya saja aku pernah mendengar Rasulullah bersabda: “Akan muncul di tengah-tengah umat ini suatu kaum yang kalian merasa bahwa shalat kalian sangat sedikit dibanding shalat mereka (padahal mereka sedang keluar dari jama’ah Islam)”.
Di sini Abu Sa’id mengucapkan sesuai dengan apa yang disabdakan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam yaitu dengan mengatakan fi hadzihil ummah (di tengah-tengah umat ini), bukan min hadzihil ummah (dari umat ini). Kalau saja ia mengucapkan itu dengan menggunakan min (dari) maka maknanya akan sangat jauh berbeda.
Di dalam Shahih Muslim juz 7 hal 164 Al-Maziri berkata: “Ini menunjukkan luasnya ilmu para shahabat Radhiallaahu anhum, kejelian pandangan mereka dan ketepatan dalam meredaksikan suatu kalimat. Perbedaan dari makna yang tersembunyi ini ialah jika menggunakan min maka menunjukkkan bagian dari umat ini bukan kafir, lain halnya kalau fi.
6. Menghubungkan suatu bid’ah dan penyimpangan dengan millah/agama sebelumnya.
Ini merupakan bukti keluasan ilmu dan cakrawala berpikir para shahabat, sebagaimana apa yang pernah disampaikan oleh Ibnu Abbas Radhiallaahu anhu : “Berhati-hatilah kalian terhadap Al Irja’ karena ia merupakan bagian dari pemikiran Nashara!”(Al Lalikai 3/631).
Dan sudah tidak asing lagi bahwa suatu bid’ah biasanya punya kaitan dengan kelompok/millah yang lain sebab pemikiran itu tidak pernah mati dan tiap-tiap kaum ada pewarisnya. Adapun yang menjadi titik temu dari dua kelompok ini -wallahu a’lam- adalah bahwa orang-orang Nashara menganggap diri mereka kekasih dan anak Allah, sebagaimana juga orang-orang murji’ah mengaku bahwa mereka adalah orang mukmin yang sempurna imannya meskipun banyak melakukan kefasikan dan maksiat. Oleh karenanya orang murji’ah menganggap biasa saja meninggalkan kewajiban dan menerjang keharaman dengan anggapan bahwa iman mereka tetap masih sempurna dan utuh sebagaimana Nashara yang tidak mengenal najis dan haram serta enggan melakukan kewajiban.
(Disarikan dari Maqalat fi aqidah ahlus sunnah wal jama’ah, karya Dr. Abdul Aziz bin Muhamamd Alu Abdul Lathif.( Dept. Ilmiah )
sumber:http://www.alsofwah.or.id...
Kamis, 30 Juli 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar