Ikhwah wa akhwat fiLLAAH a’azzakumuLLAAH, sebagai salah satu contoh dari pembahasan kita yang lalu tentang berbagai perbedaan pendapat dalam masalah furu’iyyah-fiqhiyyah yang masing-masing memiliki kekuatan hujjah serta dalil yang shahih, akan ana bahas di sini contoh yang berkaitan dengan masalah nyanyian dan musik..
Di berbagai website dan millist diposting fatwa-fatwa ulama yang mengharamkan nyanyian dan musik, dan ini menurut ana -demi ALLAAH- adalah baik, karena para pemusik akhir-akhir ini sudah banyak yang terjerumus kepada perilaku ghuluww (berlebihan) yang memang diharamkan, bahkan ada pula yang sudah terjatuh kepada syirik karena bait-bait syairnya sudah menyentuh esensi tauhid kepada ALLAAH Yang maha Tinggi lagi Maha Esa..
Tetapi yang menjadi masalah, adalah jika hal ini kemudian dianggap sudah qath’iy (pasti kebenarannya) lalu celaan dan vonis dilontarkan seolah-olah masalah ini sudah muttafaq-‘alayh (disepakati kebenarannya) di kalangan kaum Salaf, kemudian yang lebih parah hal inipun diikuti dengan tuduhan-tuduhan muttabi’ul-hawa’ (para pengikut hawa nafsu), ‘abdul-kuffar (pengabdi orang kafir) oleh sebagian kaum juhala’ terhadap fatwa para ulama yang berbeda dalam masalah ini, maka ini sikap seperti ini adalah telah menyimpang dan harus diluruskan..
Ikhwah wa akhwat a’anakumuLLAAH, jika kalangan ulama mujtahidun masing-masing mereka bersikap keras dan tegas dengan pendapatnya masing-masing, maka yang demikian itu memang dibolehkan, karena hal demikian adalah demi untuk menegakkan hujjah dan menjelaskan dalil masing-masing pihak di antara mereka, dan yang demikian ini biasa di kalangan salaf, tapi jika sikap ini kemudian diikuti oleh para pengikutnya, maka hal ini hanyalah menunjukkan kebodohan dan lemahnya ilmu serta rendahnya akhlaq belaka..
Mengapakah para muqallidin (pengikut) ini ikut-ikutan bersikap-keras dan mencela serta memvonis? Apakah mereka sedang menegakkan hujjah, maka hujjah apakah itu namanya, jika cuma bisa meng-copy fatwa Syaikh Fulan dan ustaz Fulan? Siapakah mereka sehingga berani menyalahkan ulama mujtahid yang berbeda dengan mereka, yang pendapatnya juga disandarkan kepada dalil yang shahih? Tidaklah hal yang demikian ini kecuali hanya menunjukkan tong kosong yang berbunyi nyaring dan juga berakhlaq kering, salaamun ‘alaykum laa nabtaghil jaahiliin..
Arti Bahasa
Nyanyian/lagu (الغناء / dengan huruf ‘ghin’ yang ber-harakat kasrah): diartikan melebihkan/memperindah[1] sebagaimana dalam hadits “Bukan golonganku orang yang tidak melebihkan/memperindah suara saat membaca Al-Qur’an[2]”; juga diartikan suara, keindahan dan kecantikan[3]; nyanyian, tabuhan, senandung/nasyid, bacaan yang nyaring dan merdu[4] sebagaimana dalam hadits: “Tidaklah ALLAAH SWT lebih menyukai sesuatu daripada mendengar bacaan Nabi-NYA yang membaca Al-Qur’an dengan suara yang merdu[5]” Atau dalam hadits lainnya: “Hiasilah Al-Qur’an itu dengan suaramu, karena suara yang indah akan menambahkan keindahan Al-Qur’an”[6]; juga bermakna alat musik[7] juga Sya’ir[8] sebagaimana yang dilakukan Al-Hasan bin Tsabbit ra ahli sya’ir di masa nabi SAW; tapi ia juga bisa bermakna (اللهو/melalaikan), sebagimana dalam ayat (لهو الحديث)[9] atau dalam ayat yang lain (اولهوا)[10]. Jadi nampak jelaslah bahwa ia memiliki dua makna yang berbeda, makna yang baik (sebagaimana dalam hadits-hadits di atas) maupun makna yang yang buruk (sebagaimana dalam ayat-ayat di atas), sehingga membawa makna yang hakiki hanya pada satu makna saja, hanyalah sebuah kezhaliman belaka.“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.[11]”
Ada atsar shahih dari Ibnu Mas’ud ra yang bersumpah dengan berkata: “Demi ALLAAH maksudnya adalah nyanyian.[12]” Sebagian ulama salaf menyebutkan bahwa tafsir sahabat ra sederajat dengan hadits marfu’, demikian pendapat Al-Hakim dan Ibnul Qayyim.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar