Karena dengan perbuatannya tersebut, dia seakan-akan mengatakan bahwa Islam belum sempurna, sebab amalan yang diperbuatnya dengan anggapan dapat mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala belum terdapat didalamnya.
Anehnya, ada orang yang melakukan bid’ah berkenaan dengan dzat, asma’ dan sifat Allah ‘Azza wa Jalla, kemudian ia mengatakan bahwa tujuannya adalah untuk mengagungkan Allah, untuk mensucikan Allah, dan untuk menuruti firman Allah: “Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah” (Al Baqarah: 22).
Aneh, bahwa orang yang melakukan bid’ah seperti ini dalam agama Allah, yang berkenaan dengan Dzat Allah, yang tidak pernah dilakukan oleh para ulama salaf, mengatakan bahwa dialah yang mensucikan Allah, dialah yang mengagungkan Allah dan dialah yang menuruti firman-Nya diatas dan barangsiapa yang menyalahinya maka dia adalah mumatstsil musyabbih (orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya), atau menuduhnya dengan sebutan-sebutan jelek lainnya.
Anehnya lagi, ada orang yang melakukan bid’ah dalam agama Allah berkenaan dengan pribadi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan perbuatannya itu mereka menganggap bahwa dirinyalah yang paling mencintai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan yang mengagungkan beliau, barangsiapa yang tidak berbuat sama seperti mereka maka dia adalah orang yang membenci Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam atau menuduhnya dengan sebutan-sebutan jelek lainnya yang biasa mereka pergunakan terhadap orang yang menolak bid’ah mereka. Padahal dengan bid’ah yang mereka perbuat itu, mereka sebenarnya telah bertindak lancang terhadap Allah dan Rasul-Nya.
Allah Ta’ala berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al Hujurat: 1)
Apa pendapat anda terhadap mereka yang melakukan bid’ah dalam agama Allah, baik yang berkenaan dengan dzat, sifat dan asma Allah Ta’ala atau yang berkenaan dengan pribadi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian mengatakan bahwa kamilah yang mengagungkan Allah dan Rasul-Nya?
Apakah mereka ini yang lebih berhak sebagai pengagung Allah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ataukah orang-orang yang mereka itu tidak menyimpang seujung jaripun dari syariat Allah, yang berkata: “Kami beriman kepada syariat Allah yang dibawa Nabi, kami mempercayai apa yang diberitakan, kami patuh dan tunduk terhadap perintah dan larangan, kami menolak apa yang tidak ada dalam syariat, tak patut kami berbuat lancang terhadap Allah dan Rasul-Nya atau mengatakan dalam agama Allah apa yang tidak termasuk darinya?
Siapakah menurut anda yang lebih berhak untuk disebut sebagai orang yang mencintai serta mengagungkan Allah dan Rasul-Nya?
Jelas golongan yang kedua, yaitu mereka yang berkata: “Kami mengimani dan mempercayai apa yang diberitakan kepada kami, patuh dan tunduk terhadap apa yang diperintahkan. Kami menolak apa yang tidak diperintahkan, dan tak patut kami mengada-adakan dalam syariat Allah atau melakukan bid’ah dalam agama Allah.” Tak syak lagi bahwa mereka inilah orang-orang yang tahu diri dan tahu kedudukan Khaliq-nya. Merekalah yang mengagungkan Allah dan Rasul-Nya, dan merekalah yang menunjukkan kebenaran kecintaan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya. Bukan golongan pertama yang melakukan bid’ah dalam agama Allah dalam hal aqidah, ucapan atau perbuatan. Padahal, anehnya, mereka mengerti sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Jauhilah perkara-perkara baru karena setiap perkara baru adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan adalah dalam neraka.”
Sabda beliau: “setiap bid’ah” bersifat umum dan menyeluruh dan mereka mengetahui hal itu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyampaikan maklumat umum ini, tahu akan konotasi apa yang disampaikannya. Beliau adalah manusia yang paling fasih, paling tulus terhadap umatnya, tidak mengatakan kecuali apa yang dipahami maknanya. Maka ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:”Kullu bida’h dhalalah”, beliau menyadari apa yang diucapkan, mengerti betul akan maknanya, dan ucapan ini timbul dari beliau benar-benar tulus terhadap umatnya. Apabila suatu perkataan memenuhi ketiga unsur ini yaitu: diucapkan dengan penuh ketulusan, penuh kefasihan, dan penuh pengertian, maka perkataan tersebut tidak mempunyai konotasi lain kecuali makna yang dikandungnya. Dengan perkataan umum tadi, benarkah bahwa bid’ah dapat kita bagi menjadi tiga bagian, atau lima bagian? Sama sekali tidak benar. Adapun pendapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa ada bid’ah hasanah, maka pendapat tersebut tidak terlepas dari dua hal: Pertama: kemungkinan tidak termasuk bid’ah, tapi dianggapnya sebagai bid’ah Kedua: kemungkinan termasuk bid’ah yang tentu saja sayyi’ah (buruk) tetapi dia tidak mengetahui keburukannya. Jadi setiap perkara yang dianggapnya sebagai bid’ah hasanah, maka jawabannya adalah demikian tadi.
Dengan demikian, tidak ada jalan lagi bagi ahli bid’ah untuk menjadikan suatu bid’ah mereka sebagai bid’ah hasanah, karena kita telah mempunyai senjata ampuh dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu: “Setiap bid’ah adalah kesesatan.” Senjata ini bukan dibuat sembarang pabrik, melainkan datang dari Nabi dan dibuat sedemikian sempurna. Maka barangsiapa yang memegang senjata ini tidak akan dapat dilawan oleh siapapun dengan bid’ah yang dikatakannya sebagai hasanah, sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyatakan bahwa: “Setiap bid’ah adalah kesesatan.” BawahUmum(”, “Setiap Bid’ah Adalah Kesesatan”,
“Dikutip dari buku Kesempurnaan Islam dan Bahaya Bid’ah Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin.
Penerbit Kantor Da’wah Islam PO Box 1419 Riyadh 11431
Posting :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar