Jumat, 11 Juni 2010

BAHAGIA DIDUNIA DAN AKHIRAT

tiap orang pasti menginginkan hidup bahagia. Namun banyak orang yang menempuh jalan yang salah dan keliru. Sebagian menyangka bahwa kebahagiaan adalah dengan memiliki mobil mewah, Handphone sekelas Blackberry, memiliki rumah real estate, dapat melakukan tur wisata ke luar negeri, dan lain sebagainya. Mereka menyangka bahwa inilah yang dinamakan hidup bahagia. Namun apakah betul seperti itu? Simak tulisan berikut ini.

Kebahagiaan untuk Orang yang Beriman dan Beramal Sholeh

Saudaraku … Orang yang beriman dan beramal sholeh, merekalah yang sebenarnya merasakan manisnya kehidupan dan kebahagiaan karena hatinya yang selalu tenang, berbeda dengan orang-orang yang lalai dari Allah yang selalu merasa gelisah. Walaupun mungkin engkau melihat kehidupan mereka begitu sederhana, bahkan sangat kekurangan harta. Namun jika engkau melihat jauh, engkau akan mengetahui bahwa merekalah orang-orang yang paling berbahagia. Perhatikan seksama firman-firman Allah Ta’ala berikut.

Allah Ta’ala berfirman,

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (QS. An Nahl: 97). Ini adalah balasan bagi orang mukmin di dunia, yaitu akan mendapatkan kehidupan yang baik.

وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An Nahl: 97). Sedangkan dalam ayat ini adalah balasan di akhirat, yakni alam barzakh.

Begitu pula Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ هَاجَرُوا فِي اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مَا ظُلِمُوا لَنُبَوِّئَنَّهُمْ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَلَأَجْرُ الْآَخِرَةِ أَكْبَرُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
“Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia. Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui.” (QS. An Nahl: 41)

وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعًا حَسَنًا إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ
“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertobat kepada-Nya. (Jika kamu, mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya.” (QS. Huud: 3). Kedua ayat ini menjelaskan balasan di akhirat bagi orang yang beriman dan beramal sholeh.

Begitu pula Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ يَا عِبَادِ الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az Zumar: 10)

Inilah empat tempat dalam Al Qur’an yang menjelaskan balasan bagi orang yang beriman dan beramal sholeh. Ada dua balasan yang mereka peroleh yaitu balasan di dunia dan balasan di akhirat. Itulah dua kebahagiaan yang nantinya mereka peroleh. Ini menunjukkan bahwa mereka lah orang yang akan berbahagia di dunia dan akhirat.

Salah Satu Bukti

Seringkali kita mendengar nama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Namanya begitu harum di tengah-tengah kaum muslimin karena pengaruh beliau dan karyanya begitu banyak di tengah-tengah umat ini. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, nama aslinya adalah Ahmad bin Abdul Halim bin Abdus Salam bin Abdullah bin Muhammad bin Al Khodr bin Muhammad bin Al Khodr bin Ali bin Abdullah bin Taimiyyah Al Haroni Ad Dimasqi. Nama Kunyah beliau adalah Abul ‘Abbas.

Berikut adalah cerita dari murid beliau Ibnul Qayyim mengenai keadaannya yang penuh kesusahan, begitu juga keadaan yang penuh kesengsaraan di dalam penjara. Namun di balik itu, beliau termasuk orang yang paling berbahagia.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,

“Allah Ta’ala pasti tahu bahwa aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih bahagia hidupnya daripada beliau, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Padahal kondisi kehidupan beliau sangat susah, jauh dari kemewahan dan kesenangan duniawi, bahkan sangat memprihatinkan. Ditambah lagi dengan siksaan dan penderitaan yang beliau alami di jalan Allah Ta’ala, yaitu berupa siksaan dalam penjara, ancaman dan penindasan dari musuh-musuh beliau. Namun bersamaan dengan itu semua, aku dapati bahwa beliau adalah termasuk orang yang paling bahagia hidupnya, paling lapang dadanya, paling tegar hatinya dan paling tenang jiwanya. Terpancar pada wajah beliau sinar kenikmatan hidup yang beliau rasakan. Kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan gundah gulana atau muncul dalam diri kami prasangka-prasangka buruk atau ketika kami merasakan kesempitan hidup, kami segera mendatangi beliau untuk meminta nasehat, maka dengan hanya memandang wajah beliau dan mendengarkan nasehat beliau, serta merta hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pun sering mengatakan berulang kali pada Ibnul Qoyyim, “Apa yang dilakukan oleh musuh-musuhku terhadapku? Sesungguhnya keindahan surga dan tamannya ada di hatiku.”

Begitu pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah mengatakan tatkala beliau berada di dalam penjara, padahal di dalamnya penuh dengan kesulitan, namun beliau masih mengatakan, “Seandainya benteng ini dipenuhi dengan emas, tidak ada yang bisa menandingi kenikmatanku berada di sini.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga pernah mengatakan, “Sebenarnya orang yang dikatakan dipenjara adalah orang yang hatinya tertutup dari mengenal Allah ‘azza wa jalla. Sedangkan orang yang ditawan adalah orang yang masih terus menuruti (menawan) hawa nafsunya (pada kesesatan). ”

Bahkan dalam penjara pun, Syaikhul Islam masih sering memperbanyak do’a agar dapat banyak bersyukur pada Allah, yaitu do’a: Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatik (Ya Allah, aku meminta pertolongan agar dapat berdzikir, bersyukur dan beribadah dengan baik pada-Mu). Masih sempat di saat sujud, beliau mengucapkan do’a ini. Padahal beliau sedang dalam belenggu, namun itulah kebahagiaan yang beliau rasakan.

Tatkala beliau masuk dalam sel penjara, hingga berada di balik dinding, beliau mengatakan,

فَضُرِبَ بَيْنَهُمْ بِسُورٍ لَهُ بَابٌ بَاطِنُهُ فِيهِ الرَّحْمَةُ وَظَاهِرُهُ مِنْ قِبَلِهِ الْعَذَابُ
“Lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa.” (QS. Al Hadid: 13)

Itulah kenikmatan yang dirasakan oleh orang yang memiliki keimanan yang kokoh. Kenikmatan seperti ini tidaklah pernah dirasakan oleh para raja dan juga pangeran.

Para salaf mengatakan,

لَوْ يَعْلَمُ المُلُوْكُ وَأَبْنَاءُ المُلُوْكِ مَا نَحْنُ فِيْهِ لَجَلِدُوْنَا عَلَيْهِ بِالسُّيُوْفِ
“Seandainya para raja dan pangeran itu mengetahui kenikmatan yang ada di hati kami ini, tentu mereka akan menyiksa kami dengan pedang.”

Mendapatkan Surga Dunia

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Di dunia itu terdapat surga. Barangsiapa yang tidak memasukinya, maka dia tidak akan memperoleh surga akhirat.”

Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa surga dunia adalah mencintai Allah, mengenal Allah, senantiasa mengingat-Nya, merasa tenang dan thuma’ninah ketika bermunajat pada-Nya, menjadikan kecintaan hakiki hanya untuk-Nya, memiliki rasa takut dan dibarengi rasa harap kepada-Nya, senantiasa bertawakkal pada-Nya dan menyerahkan segala urusan hanya pada-Nya.

Inilah surga dunia yang dirindukan oleh para pecinta surga akhirat.

Itulah saudaraku surga yang seharusnya engkau raih, dengan meraih kecintaan Allah, senantiasa berharap pada-Nya, serta dibarengi dengan rasa takut, juga selalu menyandarkan segala urusan hanya kepada-Nya.

Penutup

Inti dari ini semua adalah letak kebahagiaan bukanlah dengan memiliki istana yang megah, mobil yang mewah, harta yang melimpah. Namun letak kebahagiaan adalah di dalam hati, yaitu hati yang memiliki keimanan, yang selalu merasa cukup dan selalu bersandar pada Allah Ta’ala.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Yang namanya kaya (ghina’) bukanlah dengan banyaknya harta (atau banyaknya kemewahan dunia). Namun yang namanya ghina’ adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Semoga Allah memberi petunjuk kepada kita dan memberikan kita surga dunia yaitu dengan memiliki hati yang selalu bersandar pada-Nya.

Hati yang selalu merasa cukup itulah yang lebih utama dari harta yang begitu melimpah.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Sumber rujukan: Shahih Al Wabilush Shoyyib, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, hl. 91-96, Dar Ibnul Jauzi

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Perhatian: Hal Kecil Yang Mengubah Hidup Anda


Ada sebuah hal kecil, semua orang memiliki hal ini. Termasuk Anda. Jika Anda menggunakannya dengan baik, maka hal kecil ini akan mengubah hidup Anda. Mengabaikan hal ini, artinya kita membiarkan diri terombang-ambing oleh arus kehidupan tanpa memiliki kendali apa yang ada di dalam diri sendiri.

Jika Anda mengabaikan hal ini, Anda akan mengabaikan hal lain. Termasuk mengabaikan hal penting dalam hidup Anda. Mengabaikan potensi yang Anda miliki. Mengabaikan orang lain yang Anda sayangi dan mengabaikan hal penting lainnya. Masalahnya, banyak orang yang mengabaikan hal ini. Jangan sampai Anda seperti mereka.

Apakah hal kecil itu? Hal kecil itu adalah perhatian.

Definisi perhatian menurut Wikipedia adalah

Atensi atau perhatian adalah pemrosesan secara sadar sejumlah kecil informasi dari sejumlah besar informasi yang tersedia. Informasi didapatkan dari penginderaan, ingatan maupun proses kognitif lainnya. Proses atensi membantu efisiensi penggunaan sumberdaya mental yang terbatas yang kemudian akan membantu kecepatan reaksi terhadap rangsang tertentu. Apa yang salah dengan kebanyakan orang?

Banyak orang yang tidak mau/mampu mengendalikan perhatiannya dengan benar-benar. Perhatian mereka sangat ditentukan oleh kondisi di luar diri mereka. Oleh sesuatu yang kontras dan mengagetkan yang datang dari linkungan atau kondisi.

Atau ada juga orang yang semuanya diperhatikan. Ini juga tidak baik karena akan menjadikan pikiran kita kehilangan fokus.

Yang kita perlukan ialah bagaimana kita mengendalikan perhatian sehingga bisa mendukung apa yang kita inginkan. Kita, harus secara sadar mengarahkan fokus pikiran kepada hal yang memang diperlukan.

Studi Kasus Nyata
1. Empati dan persaudaraan tidak akan muncul tanpa perhatian kepada orang-orang di sekitarnya.
2. Orang yang rendah diri, adalah orang yang kurang memperhatikan potensi dirinya. Perhatian dia malah terarah kepada hal negatif tentang dirinya dan opini orang lain.
3. Anak-anak broken home adalah mereka yang merasa (atau memang benar) kurang perhatian dari orang tuanya.
4. Seseorang akan mengabaikan bakat luar biasa yang dimilikinya jika dia tidak menaruh perhatian terhadap bakat yang dimilikinya.

Intinya: sesuatu hal seolah tidak ada jika kita tidak memperhatikannya. Jika tidak ada tidak akan memberikan manfaat. Orang yang tidak suka bersyukur, karena dia tidak pernah memperhatikan nikmat yang dia miliki.

Kalau begitu, “perhatian” itu bukan “hal kecil” donk? Tentu saja, perhatian adalah hal besar, yang mempengaruhi kehidupan Anda. hanya saja, banyak orang yang mengecilkan artinya.

Generasi Muslim yang Tangguh, Lahir dari Ibu yang Tangguh (love you mom.. ♥ ♥ ♥ )



Ibu yang tangguh?
sungguh sebuah fenomena yang sangat menarik, sejauh apa ketangguhan seorang ibu? Apakah dia sekuat tarzanwati? sehebat wonder woman? atau sekaya fulanah? secantik fulanah-1? sepintar fulanah-2?

Tentu bukan itu semua yang akan saya ketengahkan pada tulisan kali ini. Seorang ibu yang tangguh adalah seorang ibu yang benar2 telah mengalami batu asah kenabawian, seorang ibu yang patut menjadi contoh tauladan. Seorang yang akan terkenang jasanya sepanjang sejarah. Agar kita tidak rancu terhadap leteladanan para tokoh2 jaman sekarang, kita akan meneladani tokoh2 sahabiyah, pada jaman awal2 islam.

***

Beliau adalah seorang salehah, yang berhasil mendidik puteranya dengan penuh kesabaran. Untuk menggambarkan bagaimana beliau berjuang untuk puteranya, dimana Siti Hajar (Ibunda Nabi Ismail Alaihissalam) bolak balik antara bukit Shafa dan bukit Marwa sampai tujuh kali, demi memenuhi rasa haus sang buah hati, Ismail, yang meronta- ronta kehausan dipadang tandus.

Siti Hajar, ditinggal oleh sang suami tercinta, Nabi Ibrahim Alaihissalam, atas perintah Allah Swt. di gurun pasir yang sangat sepi, yang tidak ada satu orang pun tinggal disana, bahkan tidak juga orang yang lalu lalang. Akan tetapi, buah perjuangan, kesabaran dan ketawakalan Siti Hajar kepada Allah Swt., kemudian dirasakan oleh semua umat Islam di seluruh penjuru dunia, berupa air zamzam.

Begitulah, gambaran perjuangan ibunda tercinta, penuh dengan kesabaran, dedikasi, dan kasih sayang kepada anaknya, maka tak heranlah ketika suatu saat seorang sahabat bertanya kepada Nabi Muhammad Saw. tentang bakti kepada orang tua; “Ya Rosulullah, siapakah orang yang paling berhak mendapatkan kebaikan pergaulanku?” Beliau bersabda, ”Ibumu.” Dia berkata lagi, ”Kemudian siapa lagi?” Beliau bersabda, ” Ibumu”. Dia berkata lagi,”Kemudian siapa lagi?” Beliau bersabda, ”Ibumu”. Dia berkata,”Kemudian siapa lagi?”. Beliau bersabd, “Ayahmu”.

Lalu, bagaimana untuk menciptakan seorang ibu yang tangguh dalam berbagai situasi seperti dicontohkan oleh Siti Hajar? Atau seperti dicontohkan oleh Asma binti Abu bakar, yang tetap membantu perjuangan Islam walau dalam kondisi hamil tua, dengan setia mengantarkan perbekalan kepada ayahanda tercinta, Abu Bakar dan Rosulullah Saw. ketika beliau berdua bersembunyi dari kejaran kaum kafir Quraisy?

Sebelum menginjak ke pembahasan tersebut, saya ingin mengajak anda semua untuk mengingat kembali, bagaimana di zaman ini, kaum wanita belia yang ingin menapaki karir yang cemerlang, baik di dunia hiburan atau bidang lainnya, banyak yang menggadaikan sebagian dari agamanya, bahkan, ibundanya sendiri yang mendukung penuh, dan mengusakan ketenaran anaknya. Semoga kita semua tidak terlena oleh fata morgana dunia.

Maka akan halnya masalah ini, Baginda Rosulullah Saw. Bersabda, ”Bagaimana dengan kalian, apabila perempuan-perempuan kalian telah melampaui batas, pemuda- pemuda kalian telah berbuat kefasikan, dan kalian juga telah meninggalkan jihad kalian …?” Adalah sebuah mata rantai yang sambung menyambung, awalnya, kaum wanita berbuat melampaui batas, lalu diikuti oleh kenakalan kaum remaja. (Hadis tsulasa, ceramah- ceramah Hasan Al-Banna, Hal 601)

Itulah kita, wanita. Jika kita rusak, maka jangan berharap anak-anak kita akan menjadi penerus perjuangan Islam. Jika orientasi kita terhadap hidup anak- anak kita hanya melulu seputar ketenaran dan kesuksesan dunia, maka jangan harap kita akan mendapatkan kiriman doa dari anak yang saleh, ketika kita kelak sudah di alam baka.

Satu hal yang perlu kita ingat bersama, bahwa Allah Swt. pasti akan menguji setiap orang yang mengaku beriman, seperti janji-Nya dalam Al-Quran yang mulia, “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta benda, jiwa dan buah- buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang- orang yang sabar,” (QS.Al Baqoroh:155).

Adalah sebuah kepastian, bahwa kita didunia ini akan diuji Allah Swt. dengan ujian yang tidak kita sukai. Tetapi, bagi kita sebagai seorang muslimah, yang apalagi sudah diberi amanah oleh Allah Swt. lantas akankah kita lari dari kenyataan? Ataukah berlapang dada menghadapinya dengan penuh kesabaran, dan mengharapkan balasan pahala serta karunia dari Allah Swt.?

Maka, cukuplah bagi kita untuk mencontoh ibu- ibu kita yang senantiasa teguh memegang prinsip Islam, senantiasa bersabar dalam ujian, dan berjuang demi pendidikan dan kesalehan anak- anaknya.

Apalagi jika bukan dengan cara mengencangkan ikatan kita terhadap Allah Swt., serta memperkuat ruhiyah kita, meluruskan visi kita terhadap anak- anak kita. dan berusaha untuk tetap bersabar, bersabar, dan bersabar.



PERAN BESAR WANITA DALAM MENENTUKAN GENERASI BERKUALITAS ISLAM

Melihat kelahiran dan perkembangan islam yang begitu pesat sejak pertama kali diwahyukan Allah hingga yaumil akhir,semua ini tidak bisa dilepaskan dari realitas bahwa wanita berperan besar dalam menentukan generasi berkualitas islam yang mampu membesarkan agama Allah di muka bumi.
untuk pertama kalinya,para generasi emas islam yang pernah dan akan selalu ada,mendapat pelajaran tentang hidup : 'dari mana hidup?untuk apa hidup?akan ke mana setelah hidup berakhir?' bukan dari sekolah tapi dari ibu sebagai guru pertama dan utama mereka

ibu semacam ini tidak secara otomatis hadir namun harus melalui proses : melatih dan mempersiapkan dirinya untuk menjadi wanita tangguh dengan integritas utuh yang melandaskan hidupnya hanya pada akidah islam

PROFIL WANITA TANGGUH DALAM ISLAM

1. wanita dermawan berdedikasi tinggi dalam pengorbanan harta,tenaga,fikiran dan jiwa serta pembelaannya kepada islam
~Khadijah binti Khuwailid Ra

2. wanita dengan segudang ilmu agama dan dunia
~Aisyah binti Abu Bakar As Shiddiq Ra,periwayat ribuan bahkan lebih hadist rasulullah dan guru bagi para shahabat Ra sepeninggal rasul untuk menimba ilmu
~As Syifa binti Abdillah,pengajar tulis menulis dan seorang ahli obat-obatan
~Zainab dari bani awad,seorang ahli penyakit mata
~Ummul Hasan bin al Qlodli Abi Ja'far Atthanjali,dokter ternama di masanya
~dsb

3. wanita politikus
~Fatimah binti Rasulullah SAW,yang terkenal dengan julukan Ummu Abiihaa (ibu bagi bapaknya) dan seorang ahli strategi perang
~Atikah binti Yazid bin Mu'awiyah
~Ummi Salma binti Ya'kub bin Abdillah al Makhzumi,
~dsb

4. wanita dalam perjuangan membela islam
~Sumayyah,istri Yasir,ibu Ammaar bin Yasir,yang syahid setelah disiksa dan ditusuk kemaluan hingga tembus kepalanya dengan tombak,karena mempertahankan keyakinannya kepada Allah dan islam
~Asma binti Abu Bakar As Shiddiq Ra,yang berkata kepada putranya yang hendak berperang tapi khawatir terbunuh dengan kondisi tubuh tercincang.dengan mantap Asma berkata :
'anakku,sesungguhnya menguliti kambing setelah kambing itu disembelih tidak menjadikan kambing itu semakin kesakitan'
~Nusaibah binti Kaabal Anshariyah (Ummu Umarah) yang terpotong tangannya dalam suatu perang ketika ia melindungi rasulullah
~Hindun binti Amr bin Harom yang dengan tabahnya membawa jasad suami,putra,dan saudaranya yang terbunuh dalam perang sehari,lalu menguburkan jasad mereka dalam satu kubur

5. tauladan muslimah pembela dan pejuang islam lainnya yang tak terhitung jumlahnya

Profil wanita idaman islam semacam itu tidak akan lahir dari wanita yang gemar hura-hura,merayakan hari wanita sedunia (women's day),atau kelompok-kelompok yang meneriakkan 'women's liberation',dan kesetaraan Gender yang tak lain adalah seruan kufur barat untuk membebaskan (menjauhkan) kaum hawa dari islam.Perjuangan semacam ini tidak akan pernah mendekatkan wanita pada cinta Allah bahkan mendekatkannya pada murka dan azhab Nya.

Perjuangan yang mampu menyelamatkan wanita dari eksploitasi seksual,perdagangan manusia(human trafficking),prostitusi,dan derita wanita tanpa akhir lainnya hanyalah ketika mereka berjuang untuk mempersiapkan dirinya untuk menjadi muslimah yang tangguh dan berkepribadian islam...setangguh para shahabiyah rasulullah SAW...

yaa Allah...
jadikanlah hamba wanita idamanMu dan islam
mudahkanlah hamba meneladani kepribadian para shahabiyah Ra dan muslimah generasi islam terdahulu (tabi'in & tabi'ut tabi'in)
agar kemenangan islam segera kembali bersinar terang melalui tangan para mujahid
yang lahir dari rahim para ibu mujahid

Semoga dengan itu, kita senantiasa dimudahkan Allah Swt. dalam menghadapi berbagai gelombang, dalam samudera kehidupan.


Wallahu ‘alam bisshowab
salam_sitijamilahamdi
dari berbagai sumber: http://sitijamilahamdi.blogspot.com/2010/06/generasi-muslim-yang-tangguh-lahir-dari.html

Kekuatan Tutur Kata

Kekuatan Tutur Kata

By: agussyafii

Pada suatu hari seorang teman bertutur, disebuah stasiun kereta api tanpa sengaja bertemu dengan seorang penjual asongan yang kehilangan tangan sebelahnya sedang menjajakan dagangannya karena hatinya iba dan ingin menolong. Dikeluarkan uang selembar sepuluh ribuan lalu diberikanlah uang itu padanya.

Sejenak berpikir di dalam benaknya ia merasa bersalah, segera kembali penjual asongan dan mengatakan kepadanya, 'Maaf bapak, saya tidak bermaksud merendahkan bapak. saya tahu, bapak adalah seorang pengusaha.' Lalu mengambil sebuah pulpen kemudian meninggalkan penjual asongan.

Setahun kemudian teman itu melintasi stasiun kereta api yang sama. Terdengar suara seseorang menyapa dirinya. 'Apa kabar Mas?' sapa seorang pemilik toko di stasiun kereta api. 'Saya sudah lama menunggu anda di toko ini.' kata pemilik toko. "Barangkali anda lupa, saya adalah penjual asongan yang waktu itu menyebut saya sebagai pengusaha sehingga saya termotivasi kata-kata anda sehingga saya bekerja keras untuk memiliki sebuah toko,' katanya dengan bangga menunjukkan tokonya.

Teman itu menceritakan betapa terharunya dirinya karena ia tidak mengira penjual asongan yang dia jumpai setahun yang lalu kini telah memiliki sebuah toko yang cukup besar distasiun kereta api.

Pesan dari kisah ini menunjukkan bahwa Tutur kata yang kita ucapkan memiliki sebuah kekuatan. Ucapan kita mampu memberikan motivasi seperti yang terjadi pada penjual asongan namun juga sebaiknya bila bertemu dengan orang yang tidak tepat malah menjerumuskan kita kepada kehancuran. Nabi mengajarkan kita agar senantiasa berkumpul dengan orang-orang sholeh, yaitu orang yang mampu menularkan kebahagiaan, kesehatan dan kedamaian dalam hidup kita.

----
'Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.' (QS. At Taubah: 119).


Wassalam,
agussyafii
----
Yuk, hadir di Kegiatan 'Amalia Cinta al-Quran (ACQ).' Hari Ahad, Tanggal 20 Juni 2010 Di Rumah Amalia, Jl. Subagyo IV blok ii, No.23 Komplek Peruri, Ciledug. Silahkan kirimkan dukungan dan partisipasi anda di http://www.facebook.com/agussyafii3, atau http://agussyafii.blogspot.com/, http://www.twitter.com/agussyafii atau sms di 087 8777 12 431

Kebiasaan Ahli Bid'ah--> Sekali Mengoceh Tetap Mengoceh!!!

Sebenarnya judul bahasa Indonesia diatas jauh dari judul asli cuma buat iseng2 aja soale ana kesal sama ahli bid'ah dan kroco2nya yang punya hobi ngoceh [yakni ta'wil yg hakikatnya tahrif], sampai perkataan para salaf yang demikian jelas pun tetap ditahrif. Oke deh, semoga nukilan ini bermanfaat untuk ana dan para saudaraku semua. Ilmu baru bagi yang belum tahu dan sebagai bahan muraja'ah bagi yang sudah tahu.

إلى ماذا تـُشير آثار السلف الصالح في علو الله عز وجل فوق السماوات فوق العرش؟


شبهة:
آثار السلف الصالح في علو الله على العرش تشير إلى علو المكانة وليس علو الذات، فقولهم بأن الله على عرشه يعني أنه فوق عرشه بسلطانه أو بقدرته ونحوه، وليس معناه بأن الله على العرش حقيقةً بذاته.


الجـواب:

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه وسلم، أما بعد
فإذا نظرنا ودرسنا كلام السلف جيدا لوجدنا بأن أقوالهم في علو الله فوق عرشه تُشير إلى علو الذات، وليس علو المكانة، مع اعتقادهم بعلو مكانة الله عز وجل.
وما يلي بيان ذلك:

1. من سياق الكلام، بأن لا يكون حديثهم في المكانة، أمثلة على ذلك:
- قول الصحابي ابن مسعود رضي الله عنه: «بين سماء الدنيا والتي تليها مسيرة خمس مئة عام وبين كل سماءين مسيرة خمس مئة عام وبين السماء السابعة وبين الكرسي مسيرة خمس مئة عام وبين الكرسي وبين الماء مسيرة خمس مئة عام والعرش فوق الماء والله تبارك وتعالى فوق العرش وهو يعلم ما أنتم عليه» إسناده حسن. (1)
- أحمد بن حنبل : قال يوسف بن موسى القطان(2) : (قيل لأبي عبد الله أحمد بن حنبل: "الله عز وجل فوق السماء السابعة على عرشه بائن من خلقه وقدرته وعلمه في كل مكان؟
قال: «نعم على العرش وعلمه لا يخلو منه مكان.» صحيح. (3)
قال خُشَيش بن أصرم (253 هـ) في كتابه "الإستقامة": « لو كان في الأرض كما هو في السماء لم يُنَزّل من السماء إلى الأرض شيئا، ولكان يصعد من الأرض إلى السماء كما ينزل من السماء إلى الأرض، وقد جاءت الآثار عن النبي أن الله عز وجل في السماء دون الأرض) ثم ذكر أحاديث عن الرسول صلى الله عليه وسلم.
وغيرهم


2. بالتصريح بقولهم "بذاته"، مثل:
- قول أبو جعفر بن أبي شيبة (297 هـ) : « فهو فوق السماوات وفوق العرش بذاته متخلصًا من خلقه بائنًا منهم، علمه في خلقه لا يخرجون من علمه.» (4)
قال الحارث المحاسبي (243 هـ) : « وأما قوله ﴿عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى﴾ [طه : 5] ﴿وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ﴾ [الأنعام : 18] و﴿أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ﴾ [الملك : 16]» وذكر عددًا من الآيات، ثم قال: « فهذا يوجب أنه فوق العرش، فوق الأشياء، منزه عن الدخول في خلقه، لا يخفى عليه منهم خافية، لأنه أبان في هذه الآيات أن ذاته بنفسه فوق عباده.» (5)

وهذا ما فهمه من جاء بعدهم من علماء أهل السنة، بأن مقصودهم هو أن الله على عرشه بذاته:
- قال أبو عمر الطلمنكي (429 هـ) في كتابه "الوصول إلى معرفة الأصول": (أجمع المسلمون من أهل السنة على أن معنى قوله: ﴿وهو معكم أينما كنتم﴾ ونحو ذلك من القرآن: أنه علمه، وأن الله تعالى فوق السموات بذاته، مستو على عرشه كيف شاء. وقال أهل السنة في قوله: ﴿الرحمن على العرش استوى﴾ : إن الإستواء من الله على عرشه على الحقيقة لا على المجاز) (6)
- قال أبو نصر السجزي (444 هـ) في كتابه الإبانة: (أئمتنا كسفيان الثوري، ومالك، وحماد بن سلمة، وحماد بن زيد، عبد الله بن المبارك، والفضيل بن عياض، وأحمد بن حنبل، وإسحاق بن راهويه متفقون على أن الله سبحانه وتعالى بذاته فوق العرش، وعلمه بكل مكان) (7)
- كتب ابن الصلاح (643هـ) على القصيدة في السنة المنسوبة إلى أبي الحسن الكرجي (532 هـ) : (هذه عقيدة أهل السنة وأصحاب الحديث) (8)، ومما جاء في تلك القصيدة:
عقيدة أصحاب الحديث فقد سمت *** بأرباب دين الله أسنى المراتب
عقائدهم أن الإله بذاته *** على عرشه مع علمه بالغوائب


3. قولهم "دون الأرض"، فلو كان مقصودهم علو المكانة، لكان في قولهم نَفيٌ لعلو الله عز وجل على أرضه، وهذا نقص الله منزه عنه.
أمثلة:
- قال خُشَيْش بن أصرم في كتابه "الإستقامة": «وأنكر جهم أن يكون الله في السماء دون الأرض، وقد دل في كتابه أنه في السماء دون الأرض.» (9)
- قال أبو بكر بن أبي عاصم (287 هـ) في كتابه "السنة": «باب: ما ذكر أن الله تعالى في سمائه دون أرضه» ثم روى بإسناده حديث الجارية الذي فيه سؤال النبي صلى الله عليه وسلم "أين الله؟".


4. كانت أقوالهم ردًا على الجهمية الذين يقولون بأن الله عز وجل ليس على العرش وأنه في كل مكان بذاته، فردوا عليهم بأن الله فوق العرش وعلمه في كل مكان. ولو كانوا يقصدون المكانة لما كان لردهم معنى، لأن الجهمية لم ينكروا علو مكانة الله عز وجل حتى يقول لهم السلف بأن الله أعلى مكانة من العرش.
أمثلة:
- ابن المبارك (181 هـ) : قال علي بن الحسن بن شقيق: سألت عبد الله بن المبارك: "كيف ينبغي لنا أن نعرف ربنا عز وجل؟" قال: «على السماء السابعة على عرشه، ولا نقول كما تقول الجهمية: أنه ها هنا في الأرض» صحيح (10)
قال جرير بن عبد الحميد الضبي (188 هـ) : «كلام الجهمية أوله عسل، وآخره سم، وإنما يحاولون أن يقولوا: ليس في السماء إله.» (11)
قال سعيد بن عامر الضبعي (208 هـ) : « الجهمية أشَرٌّ قولاً من اليهود والنصارى، قد اجتمعت اليهود والنصارى وأهل الأديان أن الله تبارك وتعالى على العرش، وقالوا هم: ليس على العرش شيء » صحيح. (12)
قال خُشَيْش بن أصرم في كتابه "الإستقامة": «وأنكر جهم أن يكون الله في السماء دون الأرض، وقد دل في كتابه أنه في السماء دون الأرض.»
وغيرهم
وقد ألَّفَ بعضهم كُتبًا في الرد على الجهمية، فيه ذكر لعلو الله على خلقه.


5. تفسيرهم (هنا) لقوله تعالى: {وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا هَامَانُ ابْنِ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَبْلُغُ الْأَسْبَابَ * أَسْبَابَ السَّمَاوَاتِ فَأَطَّلِعَ إِلَى إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي لَأَظُنُّهُ كَاذِبًا} [غافر: 36-37]، واستدلال بعضهم بها على صفة العلو لله عز وجل.


6. تفسير السلف الصالح الإستواء بأنه بمعنى "العلو والارتفاع"، والاستواء بمعنى "العلو"لا يكون إلا علواً حقيقيا بالذات، أما علو المكانة فليس من معاني الاستواء.
وهذه بعض أقوال السلف الصالح في معنى استواء الله عز وجل:

قَالَ مُجَاهِدٌ (102 هـ/ تابعي) : {اسْتَوَى} علا على العرش. (16)
قال بشر بن عمر الزهراني (207 هـ) : سمعت غير واحد من المفسرين يقول : {الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى}: ارتفع. (17)
قال أبو العباس ثعلب (291 هـ) : {استوى على العرش}: علا. (18)
قال ابن جرير الطبري (310 هـ) في تفسير قوله تعالى {الرحمن على العرش استوى} : (الرحمن على عرشه ارتفع وعلا)، وفي تفسير الآية {ثم استوى على العرش}: (يعني: علا عليه).




7. قولهم بأن الله فوق سماواته أو فوق السماء السابعة، يدل على أنهم أرادوا السماء المبنية ولم يريدوا مجرد معنى العلو لأن لفظ السماء إذا جمع انصرف للسماوات المبنية لا غير، وكذلك إذا وصف بصفة تبين ذلك كما في قولهم: السماء السابعة فإنها تنصرف إلى السماء المبنية لا إلى مجرد العلو.
أمثلة من أقوالهم:
قال محمد بن مصعب الدَّعَّاء (228 هـ) : « من زعم أنك لا تَتَكلَّم ولا تُرَى في الآخرة فهو كافر بوجهك لا يعرفك، أشهدُ أنك فوق العرش فوق سبع سماوات، ليس كما يقول أعداء الله الزنادقة » صحيح. (13)
قال حرب بن إسماعيل الكرماني (280 هـ) : (الله - عز وجل- على العرش فوق السماء السابعة العليا، يعلم ذلك كله وهو بائن من خلقه، لا يخلو من علمه مكان.) (14)
- قال ابن أبي زيد القيرواني (386 هـ) في كتابه "الجامع" : (فمما أجمعت عليه الأمة من أمور الديانة، ومن السنن التي خِلافُها بدعةٌ وضلالة: أن الله تبارك اسمه) وذكر أمورا منها: (وأنه فوق سماواته على عرشه دون أرضه، وأنه في كل مكان بعلمه) وذكر باقي الإعتقاد ثم قال في آخره: (وكل ما قدَّمنا ذِكْرَه فهو قول أهل السنة وأيمة الناس في الفقهِ والحديث على ما بيناه، وكله قول مالك، فمنه منصوص من قوله، ومنه معلوم من مذهبه.) (15)
وغيرها


للسـؤال أو التعليـق على المقـال



(1) رواه أبو الشيخ في "العظمة" (2 /688-689) قال: حدثنا الوليد، حدثنا إسحاق بن إبراهيم، حدثنا حجاج، حدثنا حماد، عن عاصم بن بهدلة، عن زر بن حبيش، عن ابن مسعود رضي الله عنه، وذكره. وروى جزءا منه الإمام الدارمي في نقضه على بشر المريسي (1/ 422) : عن موسى بن إسماعيل ثنا حماد بن سلمة عن عاصم عن زر عن ابن مسعود. ورواه أحمد بن مروان الدينوري في "المجالسة وجواهر العلم" (6 / 406) بسنده؛ واللالكائي في "شرح أصول اعتقاد أهل السنة والجماعة" (3/ 395-396) بسنده، ومن طريقه رواه ابن قدامة في "إثبات صفة العلو" (ص151-152)؛ وغيرهم؛ كلهم من طريق عاصم بن بهدلة. وعاصم صدوق، وقد وثقه جماعة، وحسّن حديثه آخرون. قال الهيثمي في مجمع الزوائد في عدة مواضع: حسن الحديث. وقال الذهبي في ميزان الأعتدال (2 /357) : هو حسن الحديث. وقال أبو بكر البزار: لم يكن بالحافظ، ولا نعلمُ أحدًا تَرك حديثه على ذلك، وهو مشهور. (تهذيب التهذيب لإبن حجر 2 /251)
(2) هو يوسف بن موسى بن راشد القطان، قال الخطيب البغدادي في تاريخه: وصف غير واحد من الأئمة يوسف بن موسى بالثقة واحتج به البخاري في صحيحه. ا.هـ. توفي يوسف القطان سنة 253 هـ.
(3) شرح اعتقاد أهل السنة للالكائي (3 / 402)؛ ورواه الخلال في كتابه "السنة" عن شيخه يوسف بن موسى القطان عن الإمام أحمد، كما في كتابي الحافظ الذهبي "العرش" (2/ 247) و"العلو للعلي الغفار" (ص176)، قال: رواه الخلال عن يوسف. فسنده صحيح.
(4) العرش وما رُوي فيه لأبي جعفر بن أبي شيبة (ص291-292)
(5) فهم القرآن ومعانيه للحارث المحاسبي (ص349-350).
(6) العلو للذهبي (ص246)
(7) كتاب العرش للذهبي (2 /341)، وسير أعلام النبلاء له (17 /656)، وأيضا كتابه العلو للعلي الغفار.
(8) كتاب العرش للذهبي (2 /342) قال – بعد ذكر البيت الذي فيه ذكر علو الله على عرشه من قصيدة الكرجي-: "وموجود بها الآن نسخ من بعضها نسخة بخط الشيخ تقي الدين ابن الصلاح، على أولها مكتوب: هذه عقيدة أهل السنة وأصحاب الحديث، بخطه رحمه الله." وذكر مثله في كتابه "العلو للعلي الغفار" عند الحديث عن قصيدة الكرجي.
(9) "التنبيه والرد على أهل الأهواء والبدع" لمحمد الملطي الشافعي / باب الفرق وذكرها.
(10) "السنة" لعبد الله بن أحمد (1 /111) قال: حدثني أحمد بن ابراهيم الدورقي ثنا علي بن الحسن بن شقيق قال سألت عبدالله بن المبارك، وذكره. رواته ثقات والسند صحيح.
(11) رواه ابن أبي حاتم في "الرد على الجهمية"، ومن طريقه الذهبي في كتابه العرش (2 /191)، وكتابه الأربعين في صفات رب العالمين له (1 /60)، وكتابه "العلو للعلي الغفار"؛ قال ابن أبي حاتم: حدثنا أبو هارون محمد بن خالد (صدوق – الجرح والتعديل لابن أبي حاتم 7/ 245) حدثنا يحيى بن المغيرة (صدوق- الجرح والتعديل 9/ 191) : سمعت جرير بن عبد الحميد يقول، وذكره.
(12) رواه البخاري في "خلق أفعال العباد" (ص9) عن سعيد بن عامر الضبعي، وهو شيخه. ورواه ابن أبي حاتم في "الرد على الجهمية"، ومن طريقه الذهبي في كتاب العرش (2 /207)، و"العلو للعلي الغفار" له. قال ابن أبي حاتم: حدثنا أبي قال: حدثت عن سعيد ابن عامر الضبعي ، وذكره. وذكره الذهبي أيضا في كتابه "الأربعين" في الصفات (1 /42). .
(13) رواه الإمام عبد الله بن أحمد في "السنة" له (ج1 ص173 ) بسند صحيح، قال: حدثني أبو الحسن بن العطار محمد بن محمد (ثقة - [تاريخ بغداد 4/ 334]) قال: سمعت محمد بن مصعب العابد يقول: وذكره. ورواه الدارقطني في كتابه "الصفات" (ص72-73) بسنده عن محمد بن مخلد العطار (ثقة مأمون [سؤالات حمزة للدارقطني ص81]) عن أبي الحسن العطار؛ والنجاد في "الرد على من يقول القرآن مخلوق" (ص71) بسنده؛ والخطيب في "تاريخ (بغداد) مدينة السلام" (ج4 ص452).
(14) حادي الأرواح (ص835-836).
(15) كتاب الجامع في السنن والآداب والمغازي والتاريخ لابن أبي زيد القيرواني (ص107- 108 و117)
(16) صحيح البخاري، كتاب التوحيد/ باب ( وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ ).
(17) مسند إسحاق بن راهويه (ت. 238 هـ) كما في اتحاف الخيرة المهرة للبوصيري (ج1 ص186)، والمطالب العالية لابن حجر (ج12 ص570)، فالإسناد صحيح؛ ورواها اللالكائي في شرح أصول اعتقاد أهل السنة والجماعة بسنده عن إسحاق بن راهويه (ج3 ص396)
(18) شرح أصول اعتقاد أهل السنة للالكائي (ج3 ص399) وسنده صحيح. قال اللالكائي: وجدت بخط أبي الحسن الدارقطني عن اسحاق الهادي (والصحيح الكاذي كما في المخطوط الثاني المذكور في هامش الكتاب، وكما نقله الإمام الذهبي في كتابه "الأربعين في صفات رب العالمين" (ج1 ص37) وكتابه "العلو") قال: سمعت أبا العباس ثعلب يقول: وذكره. قال الخطيب البغدادي في تاريخه (تاريخ بغداد): إسحاق بن احمد بن محمد بن إبراهيم أبو الحسين الكاذى كان يقدم من قريته كاذة إلى بغداد فيحدث بها روى عن محمد بن يوسف بن الطباع ... وأبى العباس ثعلب... وكان ثقة ووصفه لنا بن رزقويه بالزهد. ا.هـ.


http://www.as-salaf.com/article.php?aid=52&lang=ar

HUKUM PACARAN DALAM ISLAM..

Assallamuallaikum wr wb....


Istilah pacaran tidak bisa lepas dari remaja, karena salah satu ciri
remaja yang menonjol adalah rasa senang kepada lawan jenis disertai
keinginan untuk memiliki. Pada masa ini, seorang remaja biasanya
mulai "naksir" lawan jenisnya. Lalu ia berupaya melakukan pendekatan
untuk mendapatkan kesempatan mengungkapkan isi hatinya. Setelah
pendekatannya berhasil dan gayung bersambut, lalu keduanya mulai
berpacaran.

Pacaran dapat diartikan bermacam-macam, tetapi intinya adalah
jalinan cinta antara seorang remaja dengan lawan jenisnya. Praktik
pacaran juga bermacam-macam, ada yang sekedar berkirim surat,
telepon, menjemput, mengantar atau menemani pergi ke suatu tempat,
apel, sampai ada yang layaknya pasangan suami istri.

Di kalangan remaja sekarang ini, pacaran menjadi identitas yang
sangat dibanggakan. Biasanya seorang remaja akan bangga dan percaya
diri jika sudah memiliki pacar. Sebaliknya remaja yang belum
memiliki pacar dianggap kurang gaul. Karena itu, mencari pacar di
kalangan remaja tidak saja menjadi kebutuhan biologis tetapi juga
menjadi kebutuhan sosiologis. Maka tidak heran, kalau sekarang
mayoritas remaja sudah memiliki teman spesial yang disebut "pacar".

Lalu bagaimana pacaran dalam pandangan Islam???
Istilah pacaran sebenarnya tidak dikenal dalam Islam. Untuk istilah
hubungan percintaan antara laki-laki dan perempuan pranikah, Islam
mengenalkan istilah "khitbah (meminang". Ketika seorang laki-laki
menyukai seorang perempuan, maka ia harus mengkhitbahnya dengan
maksud akan menikahinya pada waktu dekat. Selama masa khitbah,
keduanya harus menjaga agar jangan sampai melanggar aturan-aturan
yang telah ditetapkan oleh Islam, seperti berduaan, memperbincangkan
aurat, menyentuh, mencium, memandang dengan nafsu, dan melakukan
selayaknya suami istri.

Ada perbedaan yang mencolok antara pacaran dengan khitbah. Pacaran
tidak berkaitan dengan perencanaan pernikahan, sedangkan khitbah
merupakan tahapan untuk menuju pernikahan. Persamaan keduanya
merupakan hubungan percintaan antara dua insan berlainan jenis yang
tidak dalam ikatan perkawinan.
Dari sisi persamaannya, sebenarnya hampir tidak ada perbedaan antara
pacaran dan khitbah. Keduanya akan terkait dengan bagaimana orang
mempraktikkannya. Jika selama masa khitbah, pergaulan antara laki-
laki dan perempuan melanggar batas-batas yang telah ditentukan
Islam, maka itu pun haram. Demikian juga pacaran, jika orang dalam
berpacarannya melakukan hal-hal yang dilarang oleh Islam, maka hal
itu haram.

Jika seseorang menyatakan cinta pada lawan jenisnya yang tidak
dimaksudkan untuk menikahinya saat itu atau dalam waktu dekat,
apakah hukumnya haram? Tentu tidak, karena rasa cinta adalah fitrah
yang diberikan allah, sebagaimana dalam firman-Nya berikut:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar-Rum: 21)

Allah telah menjadikan rasa cinta dalam diri manusia baik pada laki-
laki maupun perempuan. Dengan adanya rasa cinta, manusia bisa hidup
berpasang-pasangan. Adanya pernikahan tentu harus didahului rasa
cinta. Seandainya tidak ada cinta, pasti tidak ada orang yang mau
membangun rumah tangga. Seperti halnya hewan, mereka memiliki
instink seksualitas tetapi tidak memiliki rasa cinta, sehingga
setiap kali bisa berganti pasangan. Hewan tidak membangun rumah
tangga.
Menyatakan cinta sebagai kejujuran hati tidak bertentangan dengan
syariat Islam. Karena tidak ada satu pun ayat atau hadis yang
secara eksplisit atau implisit melarangnya. Islam hanya memberikan
batasan-batasan antara yang boleh dan yang tidak boleh dalam
hubungan laki-laki dan perempuan yang bukan suami istri.

Di antara batasan-batasan tersebut ialah:

1. Tidak melakukan perbuatan yang dapat mengarahkan kepada zina
Allah SWT berfirman, "Dan janganlah kamu mendekati zina:
sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu
jalan yang buruk." (QS. Al-Isra: 32) Maksud ayat ini, janganlah kamu
melakukan perbuatan-perbuatan yang bisa menjerumuskan kamu pada
perbuatan zina. Di antara perbuatan tersebut seperti berdua-duaan
dengan lawan jenis ditempat yang sepi, bersentuhan termasuk
bergandengan tangan, berciuman, dan lain sebagainya.

2. Tidak menyentuh perempuan yang bukan mahramnya
Rasulullah SAW bersabda, "Lebih baik memegang besi yang panas
daripada memegang atau meraba perempuan yang bukan istrinya (kalau
ia tahu akan berat siksaannya). "

3. Tidak berduaan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya
Dilarang laki dan perempuan yang bukan mahramnya untuk berdua-duan.
Nabi SAW bersabda, "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir,
maka jangan sekali-kali dia bersendirian dengan seorang perempuan
yang tidak mahramnya, karena ketiganya adalah setan." (HR. Ahmad)

4. Harus menjaga mata atau pandangan
Sebab mata kuncinya hati. Dan pandangan itu pengutus fitnah yang
sering membawa kepada perbuatan zina. Oleh karena itu Allah
berfirman, "Katakanlah kepada laki-laki mukmin hendaklah mereka
memalingkan pandangan (dari yang haram) dan menjaga kehormatan
mereka.....Dan katakanlah kepada kaum wanita hendaklah mereka
meredupkan mata mereka dari yang haram dan menjaga kehormatan
mereka..." (QS. An-Nur: 30-31)
Yang dimaksudkan menundukkan pandangan yaitu menjaga pandangan,
tidak melepaskan pandangan begitu saja apalagi memandangi lawan
jenis penuh dengan gelora nafsu.

5. Menutup aurat
Diwajibkan kepada kaum wanita untuk menjaga aurat dan dilarang
memakai pakaian yang mempertontonkan bentuk tubuhnya, kecuali untuk
suaminya. Dalam hadis dikatakan bahwa wanita yang keluar rumah
dengan berpakaian yang mempertontonkan lekuk tubuh, memakai minyak
wangi yang baunya semerbak, memakai "make up" dan sebagainya setiap
langkahnya dikutuk oleh para Malaikat, dan setiap laki-laki yang
memandangnya sama dengan berzina dengannya. Di hari kiamat nanti
perempuan seperti itu tidak akan mencium baunya surga (apa lagi
masuk surga)
Selagi batasan di atas tidak dilanggar, maka pacaran hukumnya boleh.
Tetapi persoalannya mungkinkah pacaran tanpa berpandang-pandanga n,
berpegangan, bercanda ria, berciuman, dan lain sebagainya. Kalau
mungkin silakan berpacaran, tetapi kalau tidak mungkin maka jangan
sekali-kali berpacaran karena azab yang pedih siap menanti Anda.
Wassallamu`allaikumsallam wr wb...


WAKTU DAN JALAN KELUARNYA

Assalamu’alaikum. wr.wb.
Facebooker's yang terhormat......

Waktu adalah menunjukkan saat hamba Allah melakukan suatu perbuatan.

Perbuatan mana oleh para ulama yang arif membagi empat waktu, dan tidak ada waktu yang kelima.

Pada setiap waktu tersebut, terdapat hak Allah SWT sebagai Robbmu, yakni waktu beribadah kepada-Nya.

Empat waktu itu adalah :

1. Waktu mendapat nikmat, digunakan untuk mendapatkan kenikmatan Allah SWT dengan jalan bersyukur kepada-Nya.

2. Waktu mendapat ujian dan cobaan, jalannya adalah ridha dan sabar.

3. Waktu melakukan ketaatan, jalannya adalah anugerah Allah yang memberi petunjuk.

4. Waktu melakukan maksiat, jalannya adalah bertaubat dan beristighfar.

Semoga keempat waktu tersebu dapat dipahami dan dilakukan dengan sungguh-sungguh baik ...amiin.

Wassalamu’alaikum. wr.wb. (MM 10062010)