[Al-Islam 465] Pemilihan Presiden (Pilpres) 2009 usai digelar. Setidaknya berdasarkan quick count (perhitungan cepat) oleh sejumlah lembaga survei (LSI, LRI, Puskaptis, CIRUS, LRI, dll), pasangan SBY-Budiono berpeluang menjadi pemenang. Oleh sebagian pengamat, kemenangan pasangan SBY-Boediono dianggap sebagai ‘tamparan’ bagi politik ulama dan tokoh Islam, karena pasangan yang didukung oleh ulama dan tokoh Islam itu menuai kekalahan. Kekalahan ini bahkan diklaim sebagai bukti telah matinya ideologi Islam dan ‘politik aliran’ (politik Islam). Betulkah demikian?
Realitas Umat Islam
Terkait dengan ‘kemenangan’ SBY-Boediono, Komaruddin Hidayat (Rektor UIN Syarif Hidayatullah), menyatakan, ”SBY menjadi pilihan mayoritas umat Islam karena faktor figurnya dan partai demokrat yang dinilai ‘friendly’ (bersahabat, red.) dengan Islam.” (Republika, 11/7).
Direktur LSI Saiful Mujani (9/7) juga mengatakan, "Faktor primordial (agama, red.) tidak punya pengaruh yang berarti. Politik aliran (politik Islam, red.) sudah mati…"
Pengamat politik Syamsudin Haris juga menyatakan, "…Preferensi (pertimbangan, red.) pemilih sudah bukan lagi pada identitas kultural, tapi pada tokoh dan dalam hal ini figur SBY lebih kuat dibanding tokoh agama itu." (Vivanews.com, 8/7).
Klaim di atas seolah didukung oleh fakta, bahwa dukungan dari tokoh dua ormas Islam terbesar (NU dan Muhamadiyah) di Indonesia kepada pasangan tertentu ternyata tidak sanggup mendorong jamaah di organisasi-organisasi itu untuk mendukung pilihan para tokohnya tersebut.
Akar Penyebab
Mengapa pilihan politik para ulama/kiai ‘tidak nyambung’ dengan pilihan politik umat di bawahnya? Pertama: karena hubungan ulama/kiai dengan umatnya yang terbangun selama ini memang hanya kuat dalam tataran spiritual dan ritual belaka. Saat umat dihadapkan pada sejumlah persoalan hidup, mereka tetap akan menjadikan ulama/kiai sebagai ‘penasihat spiritual’ mereka. Begitupun dalam ibadah ritual atau tradisi keagamaan; mereka tetap merujuk pada ulama/kiai. Sayangnya, hal demikian tidak otomatis terjadi dalam kaitannya dengan pilihan politik. Pasalnya, sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan, khususnya kehidupan politik) yang jelas-jelas kontra dengan Islam begitu mencengkeram kuat umat Islam di Indonesia. Disadari ataupun tidak, ulama/kiai pun terjebak di dalamnya. Sejak lama tidak sedikit kiai/ulama hanya memposisikan diri sebagai pemimpin spiritual dan ritual belaka, sementara kepemimpinan politik dibiarkan diambil oleh para politikus yang kebanyakan sekular.
Kedua: sejak awal ormas-ormas Islam di Indonesia yang notabene didirikan sekaligus dipimpin oleh para ulama/kiai menarik diri dari ranah politik. NU dan Muhammadiyah, misalnya, sejak awal memposisikan diri sebagai ormas yang hanya bergerak dalam tataran kultural. Namun anehnya, petinggi NU saat itu, Gus Dur, membidani lahirnya PKB. Petinggi Muhammadiyah, Amien Rais, membidani lahirnya PAN. Sayangnya, kedua partai bentukan para tokoh Islam sekaligus petinggi kedua organisasi ini tidak memposisikan diri sebagai partai Islam atau partai yang berideologi Islam. Kenyataan inilah yang barangkali menjadikan sikap umat juga sangat longgar. Apalagi ulama/kiai juga cenderung ‘netral’ dan tidak mengarahkan pilihan umat pada partai Islam. Kalaupun dalam Pilpres 2009 lalu, ulama/kiai ‘mengarahkan’ pilihan umat agar jatuh ke pasangan JK-Win, hal itu pun tidak didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang didasarkan pada ideologi atau politik Islam, tetapi lebih didasarkan pada aspek personal kedua pasangan itu.
Ketiga: dominannya sikap pragmatis (sekadar cari untung) yang dipraktikkan oleh sebagian besar politikus dan partai-partai Islam, yang hanya mengejar jabatan ataupun materi. Sikap pragmatis ini membuat umat berksimpulan, bahwa tak ada bedanya tokoh/partai Islam dengan tokoh/partai sekular.
-
lanjut sini:http://hizbut-tahrir.or.id/200... i-jatidiri-dan-peran-ulama/
Jumat, 24 Juli 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar