Hari-hari ini rakyat gencar disuguhi oleh berbagai iklan kampanye dari para calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres) yang sedang mengumbar janji di perbagai media masa. Karena rata-rata penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan – setidaknya menurut standar Islam, maka tidak heran tema kampanye banyak yang fokus pada upaya meraih dukungan rakyat miskin ini.
Sayangnya menurut saya sendiri, seluruh program-program yang ditawarkan oleh para Capres-Cawapres tersebut kalau toh nantinya benar-benar direalisasikan – belum akan membawa kemakuran bagi rakyat kebanyakan.
Mengapa saya berpendapat demikian ?, begini penjelasan saya :
Membangun kemakmuran bagi rakyat banyak adalah seperti Anda berusaha membuka kopor yang terkunci dengan kunci kombinasi 4 digit minimal (bisa lebih kalau kita elaborate lebih jauh); kopor atau kemakmuran baru akan terbuka bila keempat angka digit tersebut berada di posisi yang benar. Satu saja tidak benar maka kopor tidak terbuka alias kemakmuran tidak terealisasikan.
Empat digit kunci kombinasi kemamuran ini adalah Akses Kapital, Akses Pasar, Akses Sumber Daya dan tidak kalah pentingnya adalah Akses Nilai Yang Adil.
Akses Modal
Ketika Mohammad Yunus dari Bangladesh berjuang mengentaskan kemiskinan lebih dari 100 juta orang di negerinya dan beberapa negeri lain, akses modal ini yang menjadi fokusnya. Dia berhasil, makanya mendapat hadiah nobel untuk ini.
Namun perlu waktu 30 tahun bagi Muhammad Yunus untuk mencapai keberhasilannya sampai kondisi sekarang. Masyalahnya di kita adalah saya belum melihat para kontestan Pilpres mendatang memiliki visi jangka panjang – bagaimana masalah Akses Kapital ini di rencanakan untuk jangka panjangnya.
Memang sudah ada yang menawarkan modal bagi rakyat, pertanyaannya adalah dari mana sumber dananya – baik jangka pendek maupun jangka panjang ?. Bila sumbernya dari pajak – maka rakyat juga yang sebenarnya membayar kapital tersebut secara langsung maupun tidak langsung (dengan naiknya harga produk barang dan jasa yang dibelinya lebih tinggi karena masalah pajak ini).
Akses Pasar
Di jaman kapitalisme yang menggurita dewasa ini, sungguh tidak mudah bagi masyarakat bawah untuk menjual produk barang atau jasanya. Di Jakarta misalnya, siapa yang bisa jualan di mal-mal, pasar-pasar dan tempat jualan resmi lainnya ?; mereka bukan masyarakat kebanyakan.
Untuk bisa jualan di mal atau di pasar rakyat kebanyakan harus kaya dahulu karena harga beli/sewa mal atau pasar hanya terjangkau oleh mereka yang sudah kaya. Bagi rakyat kebanyakan, kesempatan mereka jualan hanya pada kesempatan-kesempatan tertentu ketika ada pasar kaget, bazaar dan sejenisnya.
Maka boleh juga apabila ada salah satu pasangan Capres dan Cawapres yang menjanjikan untuk menangani masalah pasar bagi rakyat ini bila terpilih. Masyalahnya lagi-lagi ini adalah janji, rakyat yang harus menagihnya ketika mereka terpilih nanti.
Akses Sumber Daya
Seandainya modal sudah ada, pasar juga sudah terbuka – tetapi rakyat kebanyakan tidak memiliki akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan untuk berkarya – maka kemakmuran juga belum akan terbuka.
Pengalaman saya mencari tanah untuk diproduktifkan dapat menjadi contoh untuk hal ini; begitu sulitnya untuk memperoleh tanah yang boleh dimakmurkan – sementara di Jawa Barat saja ratusan perkebunan terbengkalai dan tidak dimakmurkan oleh para pemegang Hak Guna Usaha (HGU) –nya. Di daerah lain dugaan saya kondisinya tidak jauh berbeda, kita baru menjadi bangsa yang suka menguasai tetapi belum suka/mampu memakmurkan bumi ini.
Saya belum melihat ada pasangan Capres-Cawapres yang mempunyai program konkret masalah membuka akses terhadap Sumber Daya ini; begitu pula yang terkait dengan sumber-sumber daya lainnya seperti Sumber Daya Insani, Sumber Daya Teknologi dslb.
Akses Nilai Yang Adil
Seandainya saja tiga akses sebelumnya telah dimiliki oleh rakyat kebanyakan; mereka bisa berproduksi karena ada modal, ada sumber daya dan ada pula pasar untuk menjual hasil produksinya.
Seandainya pula hasilnya cukup untuk dikonsumsi saat ini, dan ada lebihnya untuk perencanaan jangka panjang seperti biaya sekolah anak, biaya kesehatan hari tua, dana pensiun dlsb.
Tetapi dana yang ditabung untuk masa depan ini setiap saat tergerus nilainya karena hasil bersih dari tabungan yang bisa lebih rendah dari tingkat inflasi , atau bahkan bisa terpangkas oleh devaluasi nilai (seperti tahun 1997/1998) – maka hasil jerih payah rakyat kebanyakan tersebut juga tetap tidak akan bisa memberikan kemakmuran yang berkelanjutan. Tidak heran bila saat ini hanya ada 5% pensiunan yang mengaku mandiri secara finansial (Kompas, 29/06/09).
Lantas dengan tidak adanya pasangan Capres-Cawapres yang akan bisa membuka kunci kemakmuran tersebut , apa yang harus kita lakukan ?.
Jawabannya sederhana, kita sebagai rakyat kebanyakan tidak perlu menunggu atau berharap banyak dari siapapun yang menang pemilu Pilpres nanti. Kita sendiri yang harus bekerja keras, bahu membahu dan berjamaah dengan orang-orang disekitar kita untuk bersinergi saling bertukar kunci kemakmuran. Sambil hanya berharap kepada Allah semata, Dia-lah Yang Maha Kaya – Yang Meluaskan Rizki dan Yang Membatasinya. Insyaallah kemakmuran akan datang ke kita, siapapun presidennya. Amin.
Jumat, 31 Juli 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar