Salaam alaikum all brothers and sisters,
Ibnul Jauzi berkata menceritakan para imam yang memiliki cita-cita dan semangat yang tinggi,”Semangat para ulama terdahulu sangatlah tinggi, hal itu diindikasikan oleh karya-karya tulis mereka yang merupakan intisari usia mereka. Namun kebanyakan hasil karangan mereka telah hilang, karena semangat para penuntut ilmu telah melemah. Mereka hanya mencari yang ringkas-ringkas dan tidak bersemangat mempelajari kitab-kitab besar”.
Kemudian, para penuntut ilmu hanya mempelajari dari sebagian kitab tersebut. Lalu, lenyaplah kitab-kitab dan tidak ditulis ulang. Maka, jalan menuntut ilmu yang baik adalah meneliti kitab-kitab yang telah diwariskan (para ulama). Hendaklah dia memperbanyak muthala’ah; karena dia melihat ilmu-ilmu para ulama terdahulu dan tingginya semangat mereka yang mengasah sanubarinya dan menggerakkan semangatnya untuk bersungguh-sungguh, dan tidak ada satu kitab yang tidak ada faedahnya.
Aku berlindung kepada Allah ‘Azza wa Jalla dari perangai mereka yang bergaul bersama kami. Kami tidak melihat mereka memiliki semangat yang tinggi, maka bisa diikuti para generasi muda, dan tidak memiliki sifat wara’ hingga orang yang zuhud bisa mengambil faedah darinya.[Shaid al Khatir hal 571].
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi rahmat kepada Ibnul Jauzi, dia mencela orang-orang yang ada di masanya. Bagaimana kalau dia melihat orang-orang yagn hidup di masa kita. Pintu-pintu ilmu telah dibukakan kepada mereka, namun mereka menjauhkan diri darinya? Pintu-pintu itu ada di hadapan dan di bawah jangkauan mereka. Tetapi para pemilik semangat sangat sedikit dan orang-orang yang memiliki cita-cita sanagt langka.
Wahai kekasih, ambilah secuil kesabaran mereka. Bagaimana mereka menuntut ilmu? Kesulitan apa saja yang mereka temukan dalam perjalanan mendapatkan ilmu? Agar engkau melihat perbedaan dan jarak antara orang-orang yang ada pada kita disertai perasaan sedih yang mendalam?
Abdullah bin al Qasim al ‘Akti al Mishri ingin melakukan perjalanan dari Kairo menuju Madinah untuk menuntut ilmu bersama Imam Malik, sedangkan istri Abdullah ketika itu sedang mengandung. Ia berkata kepada istrinya,”Aku sudah berniat melakukan perjalanan dalam menuntut ilmu. Saya merasa tidak akan kembali ke Mesir kecuali setelah melewati waktu yang panjang. Jika engkau ingin aku menceraikanmu aku akan menceraikanmu, maka engkau bisa menikah dengan orang yang engkau kehendaki. Jika engkau memilih tetap bersamaku, saya akan melakukannya namun saya tidak tahu kapan akan kembali”. Istrinya memilih tetap bersamanya sebagai istrinya, dan Ibnu al Qasim berangkat kepada Imam Malik.
Dia tinggal (di Madinah) selama tujuh belas tahun, tidak pernah meninggalakan Imam Malik dan tidak melakukan kegiatan bisnis apapun. Namun semangatnya ditujukan untuk menuntut ilmu. Di masa inilah istrinya melahirkan seorang anak laki-laki dan sudah besar dan Ibnu al Qasim tidak pernah tahu tentang kelahiran anaknya karena kabar beritanya telah terputus sejak masa keberangkatannya. Ibnu al Qasim berkata,”Pada suatu hari, ketika aku berada di majelis Imam Malik, tiba-tiba datang kepada kami seorang haji dari Mesir, seorang pemuda bertutup muika. Ia memberi salam kepada Imam Malik kemudian berkata,”Adakah diantara kalian yang bernama Ibnu al Qasim?” mereka menunjuk ke arahku. Ia langsung menghadap kepadaku, memelukku dan mengecup diantara kedua mataku. Aku merasakan aroma seorang anak darinya. Ternyata dia adalah anakku yang kutinggalkan ketika istriku dalam kaeadaan mengandungnya, dan sekarang telah menjadi pemuda yang sudah besar.”
Bersungguh-sungguh dan mengalami kelelahan bukan hanya dalam menuntut ilmu dam mengikatnya (mencatatnya) saja, tetapi orang yagn diterangi oleh Allah ‘Azza wa Jalla baginya jalan ilmu, ia harus menyebarkannya, duduk bersama para penuntut ilmu dan orang-orang yang belajar serta kalangan masyarakat awam.
Sesungguhnya hal itu adalah zakatnya ilmu dan kewajiban menyebarkannya. Semoga Allah ‘Azza wa Jalla memberikan rahmat kepada Waki’ bin al Jarrah. Semua harinya digunakan berbuat taat kepada Allah Subahanahu wa Ta’ala. Dia melakukan puasa dahr(setahun penuh). Di pagi hari, dia duduk (mengajar) untuk para ahli hadist hingga siang mulai menanjak naik, kemudian dia pulang. Dia tidur siang hingga waktu shalat Dhuhur. Kemudian keluar (rumah) melaksanakan shalat Dhuhur dan dia menuju jalan yang digunakan, yang dinaiki oleh penimba air, lalu mereka mengisi timba mereka. Maka, ia mengajarkan al Qur’an kepada mereka yang digunakan untuk menunaikan kewajiban hingga batas waktu ‘Asyar. Kemudian dia kembali ke masjidnya. Lalu shalat ‘Asyar. Kemudian dia duduk mempelajari al Qur’an dan berdzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla hingga akhir siang. Kemudian waktu dia masuk rumahnya, lalu dihidangkan kepadanya sajian berbukanya[Tarikh Baghdad 13/501].
Imam ath Thabari di musim panas, tidak ketinggalan hais(kurma yang dicampur samindan keju serta diadoni dengan kuat. Terkadang diberikan pula tepung) raihan (kemangi), dan lainaufar(satu jenis wangi-wangian yang tumbuh di air yang tenang). Apabila selesai makan dia tidur di khaisy(pakaian halus dalam tenunannya dan jahitannya kasar. Dibuat dari sisa-sisa benang(afal). Dipakai di musim panas ketika tidur) di baju yang pendek lengan bajunya, dicelup dengan kayu cendana dan air mawar.
Kemudian ia bangun dan shalat Dhuhur di rumahnya (masjidnya). Menulis karangannya sampai waktu ‘Asyar. Kemudian keluar untuk menunaikan shlat ‘Asyar. Duduk untuk manusia dibacakan kitab-kitab atasnya hingga waktu Maghrib. Kemudian beliau duduk untuk membacakan fiqih dan mengajar dihadapannya hingga waktu shalat ‘Isya’ yang terakhir. Dia membagi malam dan siangnya untuk kebaikan dirinya, agamanya, dan semua makhluk, seperti taufiq yang dinerikan Allah ‘Azza wa Jalla kepadanya.
Mereka (ualma masa lalu), memegang sabar dengan tali kekangnya, ketetapan hati dengan pengendaliannya. Mereka didorong oleh cita-cita yang tinggi, harapan yang luas, dan karunia dari Allah ‘Azza wa Jalla.
Al Khatib al Baghdadi mendengar Shahih Bukhari dari Ismail bin Ahmad al Hairi di Makkah dalam tiga majelis: dua kali di malam hari. Dia mulai membaca di waktu maghrib dan mengkhatamkannya ketika shalat Fajar. Dan yang ketiga dari waktu Dhuha hingga terbitnya fajar(kembali_peng). Adz Dzahabi berkata,” Ini adalah hal yang tidak ada seorangpun di masa kami yang dapat melakukannya. Kemungkinan di antara penyebab kemudahan hal itu adalah berkah waktu yang di saat itu.”[Qawa’id at Tahdits karya al Qasimy hal.262).
http://ibnuabuabdillah.wordpre... -himmah/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar