Sebagian manusia mengatakan “tidak apa-apa isbal asal tidak dengan kesombongan”.
Mereka berdalil dengan Hadits Ibnu Umar, beliau rodhiallahu’anhu berkata :
“Aku pernah masuk menemui Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam dan ketika itu pakaianku berbunyi (karena terseret-seret ke tanah -pen) maka beliau bertanya ‘siapakah ini ?’ jawabku ‘Abdullah bin Umar’, beliau bersabda ‘jika engkau Abdullah (hamba Allah -pen) maka angkatlah pakaianmu’, maka akupun mengangkatnya, beliau bersabda ‘tambah lagi (angkat lebih tinggi lagi –pen)’, kata Ibnu Umar ‘maka akupun mengangkatnya hingga mencapai setengah betis’, begitulah keadaan pakaiannya hingga ia meninggal dunia. Kemudian beliau menoleh ke Abu Bakar, lalu bersabda ‘barang siapa yang memanjangkan pakaiannya dengan sombong, maka Allah tidak akan memandang kepadanya pada hari kiamat’, maka Abu Bakar berkata ‘sesungguhnya pakaianku sering turun’, lalu Rasulullah bersabda ‘kamu tidak termasuk dari mereka’, (dalam riwayat yang lain dinyatakan ‘kamu bukan orang yang melakukannya dengan sombong’)”. [Dikeluarkan oleh Ahmad, Abdurrazzaq dan yang lainnya. Syaikh Al-Albany mengatakan sanadnya shahih sesuai dengan syarat Bukhori dan Muslim, Lihat As-Shahihah 4/95).
Ketahuilah bahwa dalil di atas justru juga digunakan oleh para ulama akan keharaman isbal. Maka Hadits di atas sebenarnya bukan hujjah buat mereka yang berpendapat demikian, akan tetapi justru merupakan hujjah untuk membantah mereka. Ketika mengomentari hadits tersebut Syaikh Al-Albani mengatakan :
“Dalam hadits tersebut terdapat dalil yang jelas bahwasanya wajib bagi setiap muslim untuk tidak memanjangkan pakaiannya sampai di bawah mata kaki akan tetapi hendaklah dia mengangkatnya ke atas kedua mata kaki sekalipun hal tersebut dilakukan dengan tidak disertai sombong. Dalam hadits ini pula terdapat bantahan yang jelas terhadap para masyayikh yang memanjangkan ujung jubah-jubah mereka sampai hampir-hampir menyentuh tanah dengan dalih mereka melakukannya bukan karena sombong. Mengapa mereka meninggalkannya demi mengikuti perintah Rasulullah sebagaimana yang beliau perintahkan kepada Ibnu Umar ? Ataukah mereka merasa lebih suci hatinya daripada Ibnu Umar ?” [Lihat As-Shahihah 4/95 oleh Al-Albani].
Saya bawakan perkataan Syaikh Utsaimin dalam permasalahan tersebut, bahwa hadits tersebut tidak tepat dijadikan hujjah dipandang dari 2 sisi :
(1) Perkataan Abu Bakar rodhiallahu’anhu “Sesungguhnya salah satu dari ujung kainku sering turun, kecuali jika aku menjaganya” (lihat Ghayatul Maraam no. 90 -pen). Dengan demikian jelaslah bahwa Abu Bakar memang tidak sengaja menurunkan pakaiannya karena bermaksud sombong, akan tetapi pakaiannya turun dengan sendirinya namun ia selalu menjaganya, (bandingkan dengan orang-orang yang memang sengaja menurunkan celananya dan menganggap remeh permasalahan ini, apakah mereka merasa lebih baik dari Abu Bakar -pen).
(2) Bahwasanya Abu Bakar telah mendapat rekomendasi dari Rasulullah dan beliau menyadarinya bahwa Abu Bakar bukan orang yang melakukannya dengan maksud sombong. Maka apakah orang-orang yang menurunkan celana dengan sengaja apakah sudah mendapatkan rekomendasi dari Rasulullah?.
Syaikh Bin Baz mengomentari hadits tersebut “…sebab dia (Abu Bakar) tidak sengaja memanjangkannya, (yang terjadi pada keadaan seperti ini) hanya bahwa pakaiannya sendiri yang suka turun, namun dia selalu mengangkat dan menjaganya, yang demikian ini tidak dapat dipungkiri akan keudzurannya. Adapun orang yang memang sengaja menurunkannya baik itu celana, sarung atau baju, maka ia terkena ancaman, dan perbuatannya itu tidak termasuk udzur. Sebab hadits-hadits shahih yang melarang tentang isbal ini telah mengenai dirinya, baik secara lafaz maupun secara makna dan maksudnya…”.
Terdapat hadits lain yang menegaskan permasalahan ini, yaitu hadits dari Abu Umamah rodhiallahu’anhu dimana dia berkata,
“Tatkala kami bersama Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam tiba-tiba kami disusul oleh Amru bin Zarrah Al-Anshari dengan memakai hiasan sarung dan mantel yang isbal, maka Rasulullah mengambil ujung pakaiannya dan bertawadhu’ kepada Allah lalu berkata, ‘Hamba (laki-laki)-Mu, anak hamba (laki-laki)-Mu dan anak hamba perempuanmu’, sampai di dengar oleh Amru lalu ia berkata ‘wahai Rasulullah sesungguhnya aku ini mempunyai betis yang kurus’, maka Rasulullah bersabda, “sesungguhnya Allah telah memperindah setiap ciptaan-Nya, wahai Amru sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang isbal” [Hadits ini dikeluarkan oleh Thabrani dan derajatnya hasan).
Ketika mengomentari hadits ini Ibnu Hajar rohimahullah berkata “Dhohir hadits tersebut menunjukkan bahwa Amru tidak bermaksud melakukan isbal karena sombong. Namun demikian dia telah dilarang oleh Rasulullah untuk melakukannya, sebab pada isbal itu terdapat kesombongan” [Lihat Fathul Baari 10/264].
Membawa Mutlak Kepada Muqoyyad
Ada juga sebagian manusia yang membantah bahwa nash-nash yang datang secara muthlak mengenai larangan isbal tersebut harus di muqoyyadkan pada lafaz “karena sombong”, dan mereka mengatakan bahwa membawa dalil mutlak kepada dalil muqoyyad itu wajib hukumnya. Kaidah tersebut memang benar, akan tetapi salah dalam penerapannya. Mari kita bawa ke kaidah ushul fiqh, dan sebelumnya saya bawakan 3 hadits berkenaan dengan syubhat tersebut.
(1) Beliau shollallahu’alaihiwasallam bersabda,
“Barangsiapa yang menurunkan pakaiannya (dibawah mata kaki) karena sombong, niscaya Allah tidak akan memandang kepadanya (Hadits shahih dikeluarkan Bukhori 3665, 5784, Muslim 2085, Tirmidzi 1730, Ahmad 5337 dari hadits Ibnu Umar ).
(2) Dari Abu Hurairah rodhiallahu’anhu, dari Nabi shollallahu’alaihiwasallam, beliau bersabda,
“Segala sesuatu yang turun melewati mata kaki dari pakaian (tempatnya) di neraka” (Hadits Shahih di keluarkan oleh Bukhori no. 5787, Nasa’i 5331, Ahmad 9618)
(3) Nabi shollallahu’alaihiwasallam bersabda,
“Ada tiga (golongan manusia) yang tidak akan diajak bicara oleh Allah di hari kiamat dan mereka tidak akan diperhatikan dan tidak disucikan serta bagi mereka siksaan yang pedih ; orang yang melakukan isbal, tukang adu domba, dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu” (Hadits shahih dikeluarkan oleh Muslim 106, Abu Dawud 4087 dari hadits Abu dzar rodhiallahu’anhu).
Syaikh Utsaimin menjelaskan ketiga hadits di atas :
Hadits 1 dan hadits 3 dapat dimuqoyyadkan karena hukumnya sama yaitu bahwa pelakunya tidak dipandang oleh Allah (pada hari kiamat), walaupun sebabnya berbeda, pada hadits 1 isbal dengan sombong dan pada hadits 3 hanya dikatakan pelaku isbal tanpa disertai lafaz sombong.
Kaidah ushul fiqh menyatakan bahwa jika “sebab berbeda akan tetapi hukumnya sama maka bisa dimuqoyyadkan”. Jadi kita katakan bahwa isbal yang dimaksud pada hadits 3 tersebut adalah isbal dengan kesombongan (dikaitkan dengan hadits 1). Akan tetapi pada hadits 2 terdapat pengecualian karena hukumnya berbeda (diancam dengan neraka) maka kaidah ushul fiqh menyatakan bahwa jika “sebab sama akan tetapi hukumnya berbeda” maka tidak bisa di muqoyyadkan, [Lihat Syarh Nadhm Al Warokot, Syaikh Ustaimin, Darul Aqidah, hal. 109-110].
Dari kaidah tersebut dapat kita simpulkan bahwa sesungguhnya isbal itu jika dilakukan dengan maksud menyombongkan diri maka hukumannya adalah : pelakunya tidak dipandang oleh Allah pada hari kiamat, tidak akan diajak bicara oleh Allah, dan tidak akan disucikan, serta baginya siksaan yang pedih. Adapun jika dilakukan tanpa bermaksud sombong, maka hukumannya adalah diazab apa yang turun melebihi mata kaki dengan api neraka. Dan banyak lagi hadits-hadits lain yang menguatkan keterangan ini.
Apakah kita masih menganggap remeh permasalahan ini?
Melaksanakan sunnah Rasul ini sangat mudah dan tidak sulit.
Kita TIDAK diwajibkan harus memakai jubah arab, gamis pakistan atau yang lainnya, akan tetapi pakaian seorang muslim itu disesuaikan dengan urf (adat istiadat dan budaya setempat) dengan syarat harus sesuai syari’at (seperti menutup aurat dan tidak isbal). Jika di negeri kita sudah umum memakai celana panjang, maka itulah urf masyarakat kita. Rasulullah memberi keringanan dalam masalah isbal, yaitu tidak boleh melewati kedua mata kaki (walaupun yang lebih utama adalah sebatas pertengahan betis) dan mudah sekali bagi kita untuk memotong sedikiiiit saja ujung celana kita agar tidak melewati kedua mata kaki, tentu tidak sulit bukan…?
Rabu, 22 Juli 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar