Jumat, 11 Juni 2010

BAHAGIA DIDUNIA DAN AKHIRAT

tiap orang pasti menginginkan hidup bahagia. Namun banyak orang yang menempuh jalan yang salah dan keliru. Sebagian menyangka bahwa kebahagiaan adalah dengan memiliki mobil mewah, Handphone sekelas Blackberry, memiliki rumah real estate, dapat melakukan tur wisata ke luar negeri, dan lain sebagainya. Mereka menyangka bahwa inilah yang dinamakan hidup bahagia. Namun apakah betul seperti itu? Simak tulisan berikut ini.

Kebahagiaan untuk Orang yang Beriman dan Beramal Sholeh

Saudaraku … Orang yang beriman dan beramal sholeh, merekalah yang sebenarnya merasakan manisnya kehidupan dan kebahagiaan karena hatinya yang selalu tenang, berbeda dengan orang-orang yang lalai dari Allah yang selalu merasa gelisah. Walaupun mungkin engkau melihat kehidupan mereka begitu sederhana, bahkan sangat kekurangan harta. Namun jika engkau melihat jauh, engkau akan mengetahui bahwa merekalah orang-orang yang paling berbahagia. Perhatikan seksama firman-firman Allah Ta’ala berikut.

Allah Ta’ala berfirman,

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.” (QS. An Nahl: 97). Ini adalah balasan bagi orang mukmin di dunia, yaitu akan mendapatkan kehidupan yang baik.

وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An Nahl: 97). Sedangkan dalam ayat ini adalah balasan di akhirat, yakni alam barzakh.

Begitu pula Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ هَاجَرُوا فِي اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مَا ظُلِمُوا لَنُبَوِّئَنَّهُمْ فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَلَأَجْرُ الْآَخِرَةِ أَكْبَرُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
“Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah sesudah mereka dianiaya, pasti Kami akan memberikan tempat yang bagus kepada mereka di dunia. Dan sesungguhnya pahala di akhirat adalah lebih besar, kalau mereka mengetahui.” (QS. An Nahl: 41)

وَأَنِ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ يُمَتِّعْكُمْ مَتَاعًا حَسَنًا إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى وَيُؤْتِ كُلَّ ذِي فَضْلٍ فَضْلَهُ
“Dan hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertobat kepada-Nya. (Jika kamu, mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan dan Dia akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan) keutamaannya.” (QS. Huud: 3). Kedua ayat ini menjelaskan balasan di akhirat bagi orang yang beriman dan beramal sholeh.

Begitu pula Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ يَا عِبَادِ الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az Zumar: 10)

Inilah empat tempat dalam Al Qur’an yang menjelaskan balasan bagi orang yang beriman dan beramal sholeh. Ada dua balasan yang mereka peroleh yaitu balasan di dunia dan balasan di akhirat. Itulah dua kebahagiaan yang nantinya mereka peroleh. Ini menunjukkan bahwa mereka lah orang yang akan berbahagia di dunia dan akhirat.

Salah Satu Bukti

Seringkali kita mendengar nama Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Namanya begitu harum di tengah-tengah kaum muslimin karena pengaruh beliau dan karyanya begitu banyak di tengah-tengah umat ini. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, nama aslinya adalah Ahmad bin Abdul Halim bin Abdus Salam bin Abdullah bin Muhammad bin Al Khodr bin Muhammad bin Al Khodr bin Ali bin Abdullah bin Taimiyyah Al Haroni Ad Dimasqi. Nama Kunyah beliau adalah Abul ‘Abbas.

Berikut adalah cerita dari murid beliau Ibnul Qayyim mengenai keadaannya yang penuh kesusahan, begitu juga keadaan yang penuh kesengsaraan di dalam penjara. Namun di balik itu, beliau termasuk orang yang paling berbahagia.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,

“Allah Ta’ala pasti tahu bahwa aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih bahagia hidupnya daripada beliau, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Padahal kondisi kehidupan beliau sangat susah, jauh dari kemewahan dan kesenangan duniawi, bahkan sangat memprihatinkan. Ditambah lagi dengan siksaan dan penderitaan yang beliau alami di jalan Allah Ta’ala, yaitu berupa siksaan dalam penjara, ancaman dan penindasan dari musuh-musuh beliau. Namun bersamaan dengan itu semua, aku dapati bahwa beliau adalah termasuk orang yang paling bahagia hidupnya, paling lapang dadanya, paling tegar hatinya dan paling tenang jiwanya. Terpancar pada wajah beliau sinar kenikmatan hidup yang beliau rasakan. Kami (murid-murid Ibnu Taimiyyah), jika kami ditimpa perasaan gundah gulana atau muncul dalam diri kami prasangka-prasangka buruk atau ketika kami merasakan kesempitan hidup, kami segera mendatangi beliau untuk meminta nasehat, maka dengan hanya memandang wajah beliau dan mendengarkan nasehat beliau, serta merta hilang semua kegundahan yang kami rasakan dan berganti dengan perasaan lapang, tegar, yakin dan tenang”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pun sering mengatakan berulang kali pada Ibnul Qoyyim, “Apa yang dilakukan oleh musuh-musuhku terhadapku? Sesungguhnya keindahan surga dan tamannya ada di hatiku.”

Begitu pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah mengatakan tatkala beliau berada di dalam penjara, padahal di dalamnya penuh dengan kesulitan, namun beliau masih mengatakan, “Seandainya benteng ini dipenuhi dengan emas, tidak ada yang bisa menandingi kenikmatanku berada di sini.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga pernah mengatakan, “Sebenarnya orang yang dikatakan dipenjara adalah orang yang hatinya tertutup dari mengenal Allah ‘azza wa jalla. Sedangkan orang yang ditawan adalah orang yang masih terus menuruti (menawan) hawa nafsunya (pada kesesatan). ”

Bahkan dalam penjara pun, Syaikhul Islam masih sering memperbanyak do’a agar dapat banyak bersyukur pada Allah, yaitu do’a: Allahumma a’inni ‘ala dzikrika wa syukrika wa husni ‘ibadatik (Ya Allah, aku meminta pertolongan agar dapat berdzikir, bersyukur dan beribadah dengan baik pada-Mu). Masih sempat di saat sujud, beliau mengucapkan do’a ini. Padahal beliau sedang dalam belenggu, namun itulah kebahagiaan yang beliau rasakan.

Tatkala beliau masuk dalam sel penjara, hingga berada di balik dinding, beliau mengatakan,

فَضُرِبَ بَيْنَهُمْ بِسُورٍ لَهُ بَابٌ بَاطِنُهُ فِيهِ الرَّحْمَةُ وَظَاهِرُهُ مِنْ قِبَلِهِ الْعَذَابُ
“Lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa.” (QS. Al Hadid: 13)

Itulah kenikmatan yang dirasakan oleh orang yang memiliki keimanan yang kokoh. Kenikmatan seperti ini tidaklah pernah dirasakan oleh para raja dan juga pangeran.

Para salaf mengatakan,

لَوْ يَعْلَمُ المُلُوْكُ وَأَبْنَاءُ المُلُوْكِ مَا نَحْنُ فِيْهِ لَجَلِدُوْنَا عَلَيْهِ بِالسُّيُوْفِ
“Seandainya para raja dan pangeran itu mengetahui kenikmatan yang ada di hati kami ini, tentu mereka akan menyiksa kami dengan pedang.”

Mendapatkan Surga Dunia

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Di dunia itu terdapat surga. Barangsiapa yang tidak memasukinya, maka dia tidak akan memperoleh surga akhirat.”

Ibnul Qayyim menjelaskan bahwa surga dunia adalah mencintai Allah, mengenal Allah, senantiasa mengingat-Nya, merasa tenang dan thuma’ninah ketika bermunajat pada-Nya, menjadikan kecintaan hakiki hanya untuk-Nya, memiliki rasa takut dan dibarengi rasa harap kepada-Nya, senantiasa bertawakkal pada-Nya dan menyerahkan segala urusan hanya pada-Nya.

Inilah surga dunia yang dirindukan oleh para pecinta surga akhirat.

Itulah saudaraku surga yang seharusnya engkau raih, dengan meraih kecintaan Allah, senantiasa berharap pada-Nya, serta dibarengi dengan rasa takut, juga selalu menyandarkan segala urusan hanya kepada-Nya.

Penutup

Inti dari ini semua adalah letak kebahagiaan bukanlah dengan memiliki istana yang megah, mobil yang mewah, harta yang melimpah. Namun letak kebahagiaan adalah di dalam hati, yaitu hati yang memiliki keimanan, yang selalu merasa cukup dan selalu bersandar pada Allah Ta’ala.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
“Yang namanya kaya (ghina’) bukanlah dengan banyaknya harta (atau banyaknya kemewahan dunia). Namun yang namanya ghina’ adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Semoga Allah memberi petunjuk kepada kita dan memberikan kita surga dunia yaitu dengan memiliki hati yang selalu bersandar pada-Nya.

Hati yang selalu merasa cukup itulah yang lebih utama dari harta yang begitu melimpah.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Sumber rujukan: Shahih Al Wabilush Shoyyib, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, hl. 91-96, Dar Ibnul Jauzi

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Perhatian: Hal Kecil Yang Mengubah Hidup Anda


Ada sebuah hal kecil, semua orang memiliki hal ini. Termasuk Anda. Jika Anda menggunakannya dengan baik, maka hal kecil ini akan mengubah hidup Anda. Mengabaikan hal ini, artinya kita membiarkan diri terombang-ambing oleh arus kehidupan tanpa memiliki kendali apa yang ada di dalam diri sendiri.

Jika Anda mengabaikan hal ini, Anda akan mengabaikan hal lain. Termasuk mengabaikan hal penting dalam hidup Anda. Mengabaikan potensi yang Anda miliki. Mengabaikan orang lain yang Anda sayangi dan mengabaikan hal penting lainnya. Masalahnya, banyak orang yang mengabaikan hal ini. Jangan sampai Anda seperti mereka.

Apakah hal kecil itu? Hal kecil itu adalah perhatian.

Definisi perhatian menurut Wikipedia adalah

Atensi atau perhatian adalah pemrosesan secara sadar sejumlah kecil informasi dari sejumlah besar informasi yang tersedia. Informasi didapatkan dari penginderaan, ingatan maupun proses kognitif lainnya. Proses atensi membantu efisiensi penggunaan sumberdaya mental yang terbatas yang kemudian akan membantu kecepatan reaksi terhadap rangsang tertentu. Apa yang salah dengan kebanyakan orang?

Banyak orang yang tidak mau/mampu mengendalikan perhatiannya dengan benar-benar. Perhatian mereka sangat ditentukan oleh kondisi di luar diri mereka. Oleh sesuatu yang kontras dan mengagetkan yang datang dari linkungan atau kondisi.

Atau ada juga orang yang semuanya diperhatikan. Ini juga tidak baik karena akan menjadikan pikiran kita kehilangan fokus.

Yang kita perlukan ialah bagaimana kita mengendalikan perhatian sehingga bisa mendukung apa yang kita inginkan. Kita, harus secara sadar mengarahkan fokus pikiran kepada hal yang memang diperlukan.

Studi Kasus Nyata
1. Empati dan persaudaraan tidak akan muncul tanpa perhatian kepada orang-orang di sekitarnya.
2. Orang yang rendah diri, adalah orang yang kurang memperhatikan potensi dirinya. Perhatian dia malah terarah kepada hal negatif tentang dirinya dan opini orang lain.
3. Anak-anak broken home adalah mereka yang merasa (atau memang benar) kurang perhatian dari orang tuanya.
4. Seseorang akan mengabaikan bakat luar biasa yang dimilikinya jika dia tidak menaruh perhatian terhadap bakat yang dimilikinya.

Intinya: sesuatu hal seolah tidak ada jika kita tidak memperhatikannya. Jika tidak ada tidak akan memberikan manfaat. Orang yang tidak suka bersyukur, karena dia tidak pernah memperhatikan nikmat yang dia miliki.

Kalau begitu, “perhatian” itu bukan “hal kecil” donk? Tentu saja, perhatian adalah hal besar, yang mempengaruhi kehidupan Anda. hanya saja, banyak orang yang mengecilkan artinya.

Generasi Muslim yang Tangguh, Lahir dari Ibu yang Tangguh (love you mom.. ♥ ♥ ♥ )



Ibu yang tangguh?
sungguh sebuah fenomena yang sangat menarik, sejauh apa ketangguhan seorang ibu? Apakah dia sekuat tarzanwati? sehebat wonder woman? atau sekaya fulanah? secantik fulanah-1? sepintar fulanah-2?

Tentu bukan itu semua yang akan saya ketengahkan pada tulisan kali ini. Seorang ibu yang tangguh adalah seorang ibu yang benar2 telah mengalami batu asah kenabawian, seorang ibu yang patut menjadi contoh tauladan. Seorang yang akan terkenang jasanya sepanjang sejarah. Agar kita tidak rancu terhadap leteladanan para tokoh2 jaman sekarang, kita akan meneladani tokoh2 sahabiyah, pada jaman awal2 islam.

***

Beliau adalah seorang salehah, yang berhasil mendidik puteranya dengan penuh kesabaran. Untuk menggambarkan bagaimana beliau berjuang untuk puteranya, dimana Siti Hajar (Ibunda Nabi Ismail Alaihissalam) bolak balik antara bukit Shafa dan bukit Marwa sampai tujuh kali, demi memenuhi rasa haus sang buah hati, Ismail, yang meronta- ronta kehausan dipadang tandus.

Siti Hajar, ditinggal oleh sang suami tercinta, Nabi Ibrahim Alaihissalam, atas perintah Allah Swt. di gurun pasir yang sangat sepi, yang tidak ada satu orang pun tinggal disana, bahkan tidak juga orang yang lalu lalang. Akan tetapi, buah perjuangan, kesabaran dan ketawakalan Siti Hajar kepada Allah Swt., kemudian dirasakan oleh semua umat Islam di seluruh penjuru dunia, berupa air zamzam.

Begitulah, gambaran perjuangan ibunda tercinta, penuh dengan kesabaran, dedikasi, dan kasih sayang kepada anaknya, maka tak heranlah ketika suatu saat seorang sahabat bertanya kepada Nabi Muhammad Saw. tentang bakti kepada orang tua; “Ya Rosulullah, siapakah orang yang paling berhak mendapatkan kebaikan pergaulanku?” Beliau bersabda, ”Ibumu.” Dia berkata lagi, ”Kemudian siapa lagi?” Beliau bersabda, ” Ibumu”. Dia berkata lagi,”Kemudian siapa lagi?” Beliau bersabda, ”Ibumu”. Dia berkata,”Kemudian siapa lagi?”. Beliau bersabd, “Ayahmu”.

Lalu, bagaimana untuk menciptakan seorang ibu yang tangguh dalam berbagai situasi seperti dicontohkan oleh Siti Hajar? Atau seperti dicontohkan oleh Asma binti Abu bakar, yang tetap membantu perjuangan Islam walau dalam kondisi hamil tua, dengan setia mengantarkan perbekalan kepada ayahanda tercinta, Abu Bakar dan Rosulullah Saw. ketika beliau berdua bersembunyi dari kejaran kaum kafir Quraisy?

Sebelum menginjak ke pembahasan tersebut, saya ingin mengajak anda semua untuk mengingat kembali, bagaimana di zaman ini, kaum wanita belia yang ingin menapaki karir yang cemerlang, baik di dunia hiburan atau bidang lainnya, banyak yang menggadaikan sebagian dari agamanya, bahkan, ibundanya sendiri yang mendukung penuh, dan mengusakan ketenaran anaknya. Semoga kita semua tidak terlena oleh fata morgana dunia.

Maka akan halnya masalah ini, Baginda Rosulullah Saw. Bersabda, ”Bagaimana dengan kalian, apabila perempuan-perempuan kalian telah melampaui batas, pemuda- pemuda kalian telah berbuat kefasikan, dan kalian juga telah meninggalkan jihad kalian …?” Adalah sebuah mata rantai yang sambung menyambung, awalnya, kaum wanita berbuat melampaui batas, lalu diikuti oleh kenakalan kaum remaja. (Hadis tsulasa, ceramah- ceramah Hasan Al-Banna, Hal 601)

Itulah kita, wanita. Jika kita rusak, maka jangan berharap anak-anak kita akan menjadi penerus perjuangan Islam. Jika orientasi kita terhadap hidup anak- anak kita hanya melulu seputar ketenaran dan kesuksesan dunia, maka jangan harap kita akan mendapatkan kiriman doa dari anak yang saleh, ketika kita kelak sudah di alam baka.

Satu hal yang perlu kita ingat bersama, bahwa Allah Swt. pasti akan menguji setiap orang yang mengaku beriman, seperti janji-Nya dalam Al-Quran yang mulia, “Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta benda, jiwa dan buah- buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang- orang yang sabar,” (QS.Al Baqoroh:155).

Adalah sebuah kepastian, bahwa kita didunia ini akan diuji Allah Swt. dengan ujian yang tidak kita sukai. Tetapi, bagi kita sebagai seorang muslimah, yang apalagi sudah diberi amanah oleh Allah Swt. lantas akankah kita lari dari kenyataan? Ataukah berlapang dada menghadapinya dengan penuh kesabaran, dan mengharapkan balasan pahala serta karunia dari Allah Swt.?

Maka, cukuplah bagi kita untuk mencontoh ibu- ibu kita yang senantiasa teguh memegang prinsip Islam, senantiasa bersabar dalam ujian, dan berjuang demi pendidikan dan kesalehan anak- anaknya.

Apalagi jika bukan dengan cara mengencangkan ikatan kita terhadap Allah Swt., serta memperkuat ruhiyah kita, meluruskan visi kita terhadap anak- anak kita. dan berusaha untuk tetap bersabar, bersabar, dan bersabar.



PERAN BESAR WANITA DALAM MENENTUKAN GENERASI BERKUALITAS ISLAM

Melihat kelahiran dan perkembangan islam yang begitu pesat sejak pertama kali diwahyukan Allah hingga yaumil akhir,semua ini tidak bisa dilepaskan dari realitas bahwa wanita berperan besar dalam menentukan generasi berkualitas islam yang mampu membesarkan agama Allah di muka bumi.
untuk pertama kalinya,para generasi emas islam yang pernah dan akan selalu ada,mendapat pelajaran tentang hidup : 'dari mana hidup?untuk apa hidup?akan ke mana setelah hidup berakhir?' bukan dari sekolah tapi dari ibu sebagai guru pertama dan utama mereka

ibu semacam ini tidak secara otomatis hadir namun harus melalui proses : melatih dan mempersiapkan dirinya untuk menjadi wanita tangguh dengan integritas utuh yang melandaskan hidupnya hanya pada akidah islam

PROFIL WANITA TANGGUH DALAM ISLAM

1. wanita dermawan berdedikasi tinggi dalam pengorbanan harta,tenaga,fikiran dan jiwa serta pembelaannya kepada islam
~Khadijah binti Khuwailid Ra

2. wanita dengan segudang ilmu agama dan dunia
~Aisyah binti Abu Bakar As Shiddiq Ra,periwayat ribuan bahkan lebih hadist rasulullah dan guru bagi para shahabat Ra sepeninggal rasul untuk menimba ilmu
~As Syifa binti Abdillah,pengajar tulis menulis dan seorang ahli obat-obatan
~Zainab dari bani awad,seorang ahli penyakit mata
~Ummul Hasan bin al Qlodli Abi Ja'far Atthanjali,dokter ternama di masanya
~dsb

3. wanita politikus
~Fatimah binti Rasulullah SAW,yang terkenal dengan julukan Ummu Abiihaa (ibu bagi bapaknya) dan seorang ahli strategi perang
~Atikah binti Yazid bin Mu'awiyah
~Ummi Salma binti Ya'kub bin Abdillah al Makhzumi,
~dsb

4. wanita dalam perjuangan membela islam
~Sumayyah,istri Yasir,ibu Ammaar bin Yasir,yang syahid setelah disiksa dan ditusuk kemaluan hingga tembus kepalanya dengan tombak,karena mempertahankan keyakinannya kepada Allah dan islam
~Asma binti Abu Bakar As Shiddiq Ra,yang berkata kepada putranya yang hendak berperang tapi khawatir terbunuh dengan kondisi tubuh tercincang.dengan mantap Asma berkata :
'anakku,sesungguhnya menguliti kambing setelah kambing itu disembelih tidak menjadikan kambing itu semakin kesakitan'
~Nusaibah binti Kaabal Anshariyah (Ummu Umarah) yang terpotong tangannya dalam suatu perang ketika ia melindungi rasulullah
~Hindun binti Amr bin Harom yang dengan tabahnya membawa jasad suami,putra,dan saudaranya yang terbunuh dalam perang sehari,lalu menguburkan jasad mereka dalam satu kubur

5. tauladan muslimah pembela dan pejuang islam lainnya yang tak terhitung jumlahnya

Profil wanita idaman islam semacam itu tidak akan lahir dari wanita yang gemar hura-hura,merayakan hari wanita sedunia (women's day),atau kelompok-kelompok yang meneriakkan 'women's liberation',dan kesetaraan Gender yang tak lain adalah seruan kufur barat untuk membebaskan (menjauhkan) kaum hawa dari islam.Perjuangan semacam ini tidak akan pernah mendekatkan wanita pada cinta Allah bahkan mendekatkannya pada murka dan azhab Nya.

Perjuangan yang mampu menyelamatkan wanita dari eksploitasi seksual,perdagangan manusia(human trafficking),prostitusi,dan derita wanita tanpa akhir lainnya hanyalah ketika mereka berjuang untuk mempersiapkan dirinya untuk menjadi muslimah yang tangguh dan berkepribadian islam...setangguh para shahabiyah rasulullah SAW...

yaa Allah...
jadikanlah hamba wanita idamanMu dan islam
mudahkanlah hamba meneladani kepribadian para shahabiyah Ra dan muslimah generasi islam terdahulu (tabi'in & tabi'ut tabi'in)
agar kemenangan islam segera kembali bersinar terang melalui tangan para mujahid
yang lahir dari rahim para ibu mujahid

Semoga dengan itu, kita senantiasa dimudahkan Allah Swt. dalam menghadapi berbagai gelombang, dalam samudera kehidupan.


Wallahu ‘alam bisshowab
salam_sitijamilahamdi
dari berbagai sumber: http://sitijamilahamdi.blogspot.com/2010/06/generasi-muslim-yang-tangguh-lahir-dari.html

Kekuatan Tutur Kata

Kekuatan Tutur Kata

By: agussyafii

Pada suatu hari seorang teman bertutur, disebuah stasiun kereta api tanpa sengaja bertemu dengan seorang penjual asongan yang kehilangan tangan sebelahnya sedang menjajakan dagangannya karena hatinya iba dan ingin menolong. Dikeluarkan uang selembar sepuluh ribuan lalu diberikanlah uang itu padanya.

Sejenak berpikir di dalam benaknya ia merasa bersalah, segera kembali penjual asongan dan mengatakan kepadanya, 'Maaf bapak, saya tidak bermaksud merendahkan bapak. saya tahu, bapak adalah seorang pengusaha.' Lalu mengambil sebuah pulpen kemudian meninggalkan penjual asongan.

Setahun kemudian teman itu melintasi stasiun kereta api yang sama. Terdengar suara seseorang menyapa dirinya. 'Apa kabar Mas?' sapa seorang pemilik toko di stasiun kereta api. 'Saya sudah lama menunggu anda di toko ini.' kata pemilik toko. "Barangkali anda lupa, saya adalah penjual asongan yang waktu itu menyebut saya sebagai pengusaha sehingga saya termotivasi kata-kata anda sehingga saya bekerja keras untuk memiliki sebuah toko,' katanya dengan bangga menunjukkan tokonya.

Teman itu menceritakan betapa terharunya dirinya karena ia tidak mengira penjual asongan yang dia jumpai setahun yang lalu kini telah memiliki sebuah toko yang cukup besar distasiun kereta api.

Pesan dari kisah ini menunjukkan bahwa Tutur kata yang kita ucapkan memiliki sebuah kekuatan. Ucapan kita mampu memberikan motivasi seperti yang terjadi pada penjual asongan namun juga sebaiknya bila bertemu dengan orang yang tidak tepat malah menjerumuskan kita kepada kehancuran. Nabi mengajarkan kita agar senantiasa berkumpul dengan orang-orang sholeh, yaitu orang yang mampu menularkan kebahagiaan, kesehatan dan kedamaian dalam hidup kita.

----
'Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.' (QS. At Taubah: 119).


Wassalam,
agussyafii
----
Yuk, hadir di Kegiatan 'Amalia Cinta al-Quran (ACQ).' Hari Ahad, Tanggal 20 Juni 2010 Di Rumah Amalia, Jl. Subagyo IV blok ii, No.23 Komplek Peruri, Ciledug. Silahkan kirimkan dukungan dan partisipasi anda di http://www.facebook.com/agussyafii3, atau http://agussyafii.blogspot.com/, http://www.twitter.com/agussyafii atau sms di 087 8777 12 431

Kebiasaan Ahli Bid'ah--> Sekali Mengoceh Tetap Mengoceh!!!

Sebenarnya judul bahasa Indonesia diatas jauh dari judul asli cuma buat iseng2 aja soale ana kesal sama ahli bid'ah dan kroco2nya yang punya hobi ngoceh [yakni ta'wil yg hakikatnya tahrif], sampai perkataan para salaf yang demikian jelas pun tetap ditahrif. Oke deh, semoga nukilan ini bermanfaat untuk ana dan para saudaraku semua. Ilmu baru bagi yang belum tahu dan sebagai bahan muraja'ah bagi yang sudah tahu.

إلى ماذا تـُشير آثار السلف الصالح في علو الله عز وجل فوق السماوات فوق العرش؟


شبهة:
آثار السلف الصالح في علو الله على العرش تشير إلى علو المكانة وليس علو الذات، فقولهم بأن الله على عرشه يعني أنه فوق عرشه بسلطانه أو بقدرته ونحوه، وليس معناه بأن الله على العرش حقيقةً بذاته.


الجـواب:

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه وسلم، أما بعد
فإذا نظرنا ودرسنا كلام السلف جيدا لوجدنا بأن أقوالهم في علو الله فوق عرشه تُشير إلى علو الذات، وليس علو المكانة، مع اعتقادهم بعلو مكانة الله عز وجل.
وما يلي بيان ذلك:

1. من سياق الكلام، بأن لا يكون حديثهم في المكانة، أمثلة على ذلك:
- قول الصحابي ابن مسعود رضي الله عنه: «بين سماء الدنيا والتي تليها مسيرة خمس مئة عام وبين كل سماءين مسيرة خمس مئة عام وبين السماء السابعة وبين الكرسي مسيرة خمس مئة عام وبين الكرسي وبين الماء مسيرة خمس مئة عام والعرش فوق الماء والله تبارك وتعالى فوق العرش وهو يعلم ما أنتم عليه» إسناده حسن. (1)
- أحمد بن حنبل : قال يوسف بن موسى القطان(2) : (قيل لأبي عبد الله أحمد بن حنبل: "الله عز وجل فوق السماء السابعة على عرشه بائن من خلقه وقدرته وعلمه في كل مكان؟
قال: «نعم على العرش وعلمه لا يخلو منه مكان.» صحيح. (3)
قال خُشَيش بن أصرم (253 هـ) في كتابه "الإستقامة": « لو كان في الأرض كما هو في السماء لم يُنَزّل من السماء إلى الأرض شيئا، ولكان يصعد من الأرض إلى السماء كما ينزل من السماء إلى الأرض، وقد جاءت الآثار عن النبي أن الله عز وجل في السماء دون الأرض) ثم ذكر أحاديث عن الرسول صلى الله عليه وسلم.
وغيرهم


2. بالتصريح بقولهم "بذاته"، مثل:
- قول أبو جعفر بن أبي شيبة (297 هـ) : « فهو فوق السماوات وفوق العرش بذاته متخلصًا من خلقه بائنًا منهم، علمه في خلقه لا يخرجون من علمه.» (4)
قال الحارث المحاسبي (243 هـ) : « وأما قوله ﴿عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى﴾ [طه : 5] ﴿وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ﴾ [الأنعام : 18] و﴿أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ﴾ [الملك : 16]» وذكر عددًا من الآيات، ثم قال: « فهذا يوجب أنه فوق العرش، فوق الأشياء، منزه عن الدخول في خلقه، لا يخفى عليه منهم خافية، لأنه أبان في هذه الآيات أن ذاته بنفسه فوق عباده.» (5)

وهذا ما فهمه من جاء بعدهم من علماء أهل السنة، بأن مقصودهم هو أن الله على عرشه بذاته:
- قال أبو عمر الطلمنكي (429 هـ) في كتابه "الوصول إلى معرفة الأصول": (أجمع المسلمون من أهل السنة على أن معنى قوله: ﴿وهو معكم أينما كنتم﴾ ونحو ذلك من القرآن: أنه علمه، وأن الله تعالى فوق السموات بذاته، مستو على عرشه كيف شاء. وقال أهل السنة في قوله: ﴿الرحمن على العرش استوى﴾ : إن الإستواء من الله على عرشه على الحقيقة لا على المجاز) (6)
- قال أبو نصر السجزي (444 هـ) في كتابه الإبانة: (أئمتنا كسفيان الثوري، ومالك، وحماد بن سلمة، وحماد بن زيد، عبد الله بن المبارك، والفضيل بن عياض، وأحمد بن حنبل، وإسحاق بن راهويه متفقون على أن الله سبحانه وتعالى بذاته فوق العرش، وعلمه بكل مكان) (7)
- كتب ابن الصلاح (643هـ) على القصيدة في السنة المنسوبة إلى أبي الحسن الكرجي (532 هـ) : (هذه عقيدة أهل السنة وأصحاب الحديث) (8)، ومما جاء في تلك القصيدة:
عقيدة أصحاب الحديث فقد سمت *** بأرباب دين الله أسنى المراتب
عقائدهم أن الإله بذاته *** على عرشه مع علمه بالغوائب


3. قولهم "دون الأرض"، فلو كان مقصودهم علو المكانة، لكان في قولهم نَفيٌ لعلو الله عز وجل على أرضه، وهذا نقص الله منزه عنه.
أمثلة:
- قال خُشَيْش بن أصرم في كتابه "الإستقامة": «وأنكر جهم أن يكون الله في السماء دون الأرض، وقد دل في كتابه أنه في السماء دون الأرض.» (9)
- قال أبو بكر بن أبي عاصم (287 هـ) في كتابه "السنة": «باب: ما ذكر أن الله تعالى في سمائه دون أرضه» ثم روى بإسناده حديث الجارية الذي فيه سؤال النبي صلى الله عليه وسلم "أين الله؟".


4. كانت أقوالهم ردًا على الجهمية الذين يقولون بأن الله عز وجل ليس على العرش وأنه في كل مكان بذاته، فردوا عليهم بأن الله فوق العرش وعلمه في كل مكان. ولو كانوا يقصدون المكانة لما كان لردهم معنى، لأن الجهمية لم ينكروا علو مكانة الله عز وجل حتى يقول لهم السلف بأن الله أعلى مكانة من العرش.
أمثلة:
- ابن المبارك (181 هـ) : قال علي بن الحسن بن شقيق: سألت عبد الله بن المبارك: "كيف ينبغي لنا أن نعرف ربنا عز وجل؟" قال: «على السماء السابعة على عرشه، ولا نقول كما تقول الجهمية: أنه ها هنا في الأرض» صحيح (10)
قال جرير بن عبد الحميد الضبي (188 هـ) : «كلام الجهمية أوله عسل، وآخره سم، وإنما يحاولون أن يقولوا: ليس في السماء إله.» (11)
قال سعيد بن عامر الضبعي (208 هـ) : « الجهمية أشَرٌّ قولاً من اليهود والنصارى، قد اجتمعت اليهود والنصارى وأهل الأديان أن الله تبارك وتعالى على العرش، وقالوا هم: ليس على العرش شيء » صحيح. (12)
قال خُشَيْش بن أصرم في كتابه "الإستقامة": «وأنكر جهم أن يكون الله في السماء دون الأرض، وقد دل في كتابه أنه في السماء دون الأرض.»
وغيرهم
وقد ألَّفَ بعضهم كُتبًا في الرد على الجهمية، فيه ذكر لعلو الله على خلقه.


5. تفسيرهم (هنا) لقوله تعالى: {وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا هَامَانُ ابْنِ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَبْلُغُ الْأَسْبَابَ * أَسْبَابَ السَّمَاوَاتِ فَأَطَّلِعَ إِلَى إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي لَأَظُنُّهُ كَاذِبًا} [غافر: 36-37]، واستدلال بعضهم بها على صفة العلو لله عز وجل.


6. تفسير السلف الصالح الإستواء بأنه بمعنى "العلو والارتفاع"، والاستواء بمعنى "العلو"لا يكون إلا علواً حقيقيا بالذات، أما علو المكانة فليس من معاني الاستواء.
وهذه بعض أقوال السلف الصالح في معنى استواء الله عز وجل:

قَالَ مُجَاهِدٌ (102 هـ/ تابعي) : {اسْتَوَى} علا على العرش. (16)
قال بشر بن عمر الزهراني (207 هـ) : سمعت غير واحد من المفسرين يقول : {الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى}: ارتفع. (17)
قال أبو العباس ثعلب (291 هـ) : {استوى على العرش}: علا. (18)
قال ابن جرير الطبري (310 هـ) في تفسير قوله تعالى {الرحمن على العرش استوى} : (الرحمن على عرشه ارتفع وعلا)، وفي تفسير الآية {ثم استوى على العرش}: (يعني: علا عليه).




7. قولهم بأن الله فوق سماواته أو فوق السماء السابعة، يدل على أنهم أرادوا السماء المبنية ولم يريدوا مجرد معنى العلو لأن لفظ السماء إذا جمع انصرف للسماوات المبنية لا غير، وكذلك إذا وصف بصفة تبين ذلك كما في قولهم: السماء السابعة فإنها تنصرف إلى السماء المبنية لا إلى مجرد العلو.
أمثلة من أقوالهم:
قال محمد بن مصعب الدَّعَّاء (228 هـ) : « من زعم أنك لا تَتَكلَّم ولا تُرَى في الآخرة فهو كافر بوجهك لا يعرفك، أشهدُ أنك فوق العرش فوق سبع سماوات، ليس كما يقول أعداء الله الزنادقة » صحيح. (13)
قال حرب بن إسماعيل الكرماني (280 هـ) : (الله - عز وجل- على العرش فوق السماء السابعة العليا، يعلم ذلك كله وهو بائن من خلقه، لا يخلو من علمه مكان.) (14)
- قال ابن أبي زيد القيرواني (386 هـ) في كتابه "الجامع" : (فمما أجمعت عليه الأمة من أمور الديانة، ومن السنن التي خِلافُها بدعةٌ وضلالة: أن الله تبارك اسمه) وذكر أمورا منها: (وأنه فوق سماواته على عرشه دون أرضه، وأنه في كل مكان بعلمه) وذكر باقي الإعتقاد ثم قال في آخره: (وكل ما قدَّمنا ذِكْرَه فهو قول أهل السنة وأيمة الناس في الفقهِ والحديث على ما بيناه، وكله قول مالك، فمنه منصوص من قوله، ومنه معلوم من مذهبه.) (15)
وغيرها


للسـؤال أو التعليـق على المقـال



(1) رواه أبو الشيخ في "العظمة" (2 /688-689) قال: حدثنا الوليد، حدثنا إسحاق بن إبراهيم، حدثنا حجاج، حدثنا حماد، عن عاصم بن بهدلة، عن زر بن حبيش، عن ابن مسعود رضي الله عنه، وذكره. وروى جزءا منه الإمام الدارمي في نقضه على بشر المريسي (1/ 422) : عن موسى بن إسماعيل ثنا حماد بن سلمة عن عاصم عن زر عن ابن مسعود. ورواه أحمد بن مروان الدينوري في "المجالسة وجواهر العلم" (6 / 406) بسنده؛ واللالكائي في "شرح أصول اعتقاد أهل السنة والجماعة" (3/ 395-396) بسنده، ومن طريقه رواه ابن قدامة في "إثبات صفة العلو" (ص151-152)؛ وغيرهم؛ كلهم من طريق عاصم بن بهدلة. وعاصم صدوق، وقد وثقه جماعة، وحسّن حديثه آخرون. قال الهيثمي في مجمع الزوائد في عدة مواضع: حسن الحديث. وقال الذهبي في ميزان الأعتدال (2 /357) : هو حسن الحديث. وقال أبو بكر البزار: لم يكن بالحافظ، ولا نعلمُ أحدًا تَرك حديثه على ذلك، وهو مشهور. (تهذيب التهذيب لإبن حجر 2 /251)
(2) هو يوسف بن موسى بن راشد القطان، قال الخطيب البغدادي في تاريخه: وصف غير واحد من الأئمة يوسف بن موسى بالثقة واحتج به البخاري في صحيحه. ا.هـ. توفي يوسف القطان سنة 253 هـ.
(3) شرح اعتقاد أهل السنة للالكائي (3 / 402)؛ ورواه الخلال في كتابه "السنة" عن شيخه يوسف بن موسى القطان عن الإمام أحمد، كما في كتابي الحافظ الذهبي "العرش" (2/ 247) و"العلو للعلي الغفار" (ص176)، قال: رواه الخلال عن يوسف. فسنده صحيح.
(4) العرش وما رُوي فيه لأبي جعفر بن أبي شيبة (ص291-292)
(5) فهم القرآن ومعانيه للحارث المحاسبي (ص349-350).
(6) العلو للذهبي (ص246)
(7) كتاب العرش للذهبي (2 /341)، وسير أعلام النبلاء له (17 /656)، وأيضا كتابه العلو للعلي الغفار.
(8) كتاب العرش للذهبي (2 /342) قال – بعد ذكر البيت الذي فيه ذكر علو الله على عرشه من قصيدة الكرجي-: "وموجود بها الآن نسخ من بعضها نسخة بخط الشيخ تقي الدين ابن الصلاح، على أولها مكتوب: هذه عقيدة أهل السنة وأصحاب الحديث، بخطه رحمه الله." وذكر مثله في كتابه "العلو للعلي الغفار" عند الحديث عن قصيدة الكرجي.
(9) "التنبيه والرد على أهل الأهواء والبدع" لمحمد الملطي الشافعي / باب الفرق وذكرها.
(10) "السنة" لعبد الله بن أحمد (1 /111) قال: حدثني أحمد بن ابراهيم الدورقي ثنا علي بن الحسن بن شقيق قال سألت عبدالله بن المبارك، وذكره. رواته ثقات والسند صحيح.
(11) رواه ابن أبي حاتم في "الرد على الجهمية"، ومن طريقه الذهبي في كتابه العرش (2 /191)، وكتابه الأربعين في صفات رب العالمين له (1 /60)، وكتابه "العلو للعلي الغفار"؛ قال ابن أبي حاتم: حدثنا أبو هارون محمد بن خالد (صدوق – الجرح والتعديل لابن أبي حاتم 7/ 245) حدثنا يحيى بن المغيرة (صدوق- الجرح والتعديل 9/ 191) : سمعت جرير بن عبد الحميد يقول، وذكره.
(12) رواه البخاري في "خلق أفعال العباد" (ص9) عن سعيد بن عامر الضبعي، وهو شيخه. ورواه ابن أبي حاتم في "الرد على الجهمية"، ومن طريقه الذهبي في كتاب العرش (2 /207)، و"العلو للعلي الغفار" له. قال ابن أبي حاتم: حدثنا أبي قال: حدثت عن سعيد ابن عامر الضبعي ، وذكره. وذكره الذهبي أيضا في كتابه "الأربعين" في الصفات (1 /42). .
(13) رواه الإمام عبد الله بن أحمد في "السنة" له (ج1 ص173 ) بسند صحيح، قال: حدثني أبو الحسن بن العطار محمد بن محمد (ثقة - [تاريخ بغداد 4/ 334]) قال: سمعت محمد بن مصعب العابد يقول: وذكره. ورواه الدارقطني في كتابه "الصفات" (ص72-73) بسنده عن محمد بن مخلد العطار (ثقة مأمون [سؤالات حمزة للدارقطني ص81]) عن أبي الحسن العطار؛ والنجاد في "الرد على من يقول القرآن مخلوق" (ص71) بسنده؛ والخطيب في "تاريخ (بغداد) مدينة السلام" (ج4 ص452).
(14) حادي الأرواح (ص835-836).
(15) كتاب الجامع في السنن والآداب والمغازي والتاريخ لابن أبي زيد القيرواني (ص107- 108 و117)
(16) صحيح البخاري، كتاب التوحيد/ باب ( وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ ).
(17) مسند إسحاق بن راهويه (ت. 238 هـ) كما في اتحاف الخيرة المهرة للبوصيري (ج1 ص186)، والمطالب العالية لابن حجر (ج12 ص570)، فالإسناد صحيح؛ ورواها اللالكائي في شرح أصول اعتقاد أهل السنة والجماعة بسنده عن إسحاق بن راهويه (ج3 ص396)
(18) شرح أصول اعتقاد أهل السنة للالكائي (ج3 ص399) وسنده صحيح. قال اللالكائي: وجدت بخط أبي الحسن الدارقطني عن اسحاق الهادي (والصحيح الكاذي كما في المخطوط الثاني المذكور في هامش الكتاب، وكما نقله الإمام الذهبي في كتابه "الأربعين في صفات رب العالمين" (ج1 ص37) وكتابه "العلو") قال: سمعت أبا العباس ثعلب يقول: وذكره. قال الخطيب البغدادي في تاريخه (تاريخ بغداد): إسحاق بن احمد بن محمد بن إبراهيم أبو الحسين الكاذى كان يقدم من قريته كاذة إلى بغداد فيحدث بها روى عن محمد بن يوسف بن الطباع ... وأبى العباس ثعلب... وكان ثقة ووصفه لنا بن رزقويه بالزهد. ا.هـ.


http://www.as-salaf.com/article.php?aid=52&lang=ar

HUKUM PACARAN DALAM ISLAM..

Assallamuallaikum wr wb....


Istilah pacaran tidak bisa lepas dari remaja, karena salah satu ciri
remaja yang menonjol adalah rasa senang kepada lawan jenis disertai
keinginan untuk memiliki. Pada masa ini, seorang remaja biasanya
mulai "naksir" lawan jenisnya. Lalu ia berupaya melakukan pendekatan
untuk mendapatkan kesempatan mengungkapkan isi hatinya. Setelah
pendekatannya berhasil dan gayung bersambut, lalu keduanya mulai
berpacaran.

Pacaran dapat diartikan bermacam-macam, tetapi intinya adalah
jalinan cinta antara seorang remaja dengan lawan jenisnya. Praktik
pacaran juga bermacam-macam, ada yang sekedar berkirim surat,
telepon, menjemput, mengantar atau menemani pergi ke suatu tempat,
apel, sampai ada yang layaknya pasangan suami istri.

Di kalangan remaja sekarang ini, pacaran menjadi identitas yang
sangat dibanggakan. Biasanya seorang remaja akan bangga dan percaya
diri jika sudah memiliki pacar. Sebaliknya remaja yang belum
memiliki pacar dianggap kurang gaul. Karena itu, mencari pacar di
kalangan remaja tidak saja menjadi kebutuhan biologis tetapi juga
menjadi kebutuhan sosiologis. Maka tidak heran, kalau sekarang
mayoritas remaja sudah memiliki teman spesial yang disebut "pacar".

Lalu bagaimana pacaran dalam pandangan Islam???
Istilah pacaran sebenarnya tidak dikenal dalam Islam. Untuk istilah
hubungan percintaan antara laki-laki dan perempuan pranikah, Islam
mengenalkan istilah "khitbah (meminang". Ketika seorang laki-laki
menyukai seorang perempuan, maka ia harus mengkhitbahnya dengan
maksud akan menikahinya pada waktu dekat. Selama masa khitbah,
keduanya harus menjaga agar jangan sampai melanggar aturan-aturan
yang telah ditetapkan oleh Islam, seperti berduaan, memperbincangkan
aurat, menyentuh, mencium, memandang dengan nafsu, dan melakukan
selayaknya suami istri.

Ada perbedaan yang mencolok antara pacaran dengan khitbah. Pacaran
tidak berkaitan dengan perencanaan pernikahan, sedangkan khitbah
merupakan tahapan untuk menuju pernikahan. Persamaan keduanya
merupakan hubungan percintaan antara dua insan berlainan jenis yang
tidak dalam ikatan perkawinan.
Dari sisi persamaannya, sebenarnya hampir tidak ada perbedaan antara
pacaran dan khitbah. Keduanya akan terkait dengan bagaimana orang
mempraktikkannya. Jika selama masa khitbah, pergaulan antara laki-
laki dan perempuan melanggar batas-batas yang telah ditentukan
Islam, maka itu pun haram. Demikian juga pacaran, jika orang dalam
berpacarannya melakukan hal-hal yang dilarang oleh Islam, maka hal
itu haram.

Jika seseorang menyatakan cinta pada lawan jenisnya yang tidak
dimaksudkan untuk menikahinya saat itu atau dalam waktu dekat,
apakah hukumnya haram? Tentu tidak, karena rasa cinta adalah fitrah
yang diberikan allah, sebagaimana dalam firman-Nya berikut:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung
dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa
kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (QS. Ar-Rum: 21)

Allah telah menjadikan rasa cinta dalam diri manusia baik pada laki-
laki maupun perempuan. Dengan adanya rasa cinta, manusia bisa hidup
berpasang-pasangan. Adanya pernikahan tentu harus didahului rasa
cinta. Seandainya tidak ada cinta, pasti tidak ada orang yang mau
membangun rumah tangga. Seperti halnya hewan, mereka memiliki
instink seksualitas tetapi tidak memiliki rasa cinta, sehingga
setiap kali bisa berganti pasangan. Hewan tidak membangun rumah
tangga.
Menyatakan cinta sebagai kejujuran hati tidak bertentangan dengan
syariat Islam. Karena tidak ada satu pun ayat atau hadis yang
secara eksplisit atau implisit melarangnya. Islam hanya memberikan
batasan-batasan antara yang boleh dan yang tidak boleh dalam
hubungan laki-laki dan perempuan yang bukan suami istri.

Di antara batasan-batasan tersebut ialah:

1. Tidak melakukan perbuatan yang dapat mengarahkan kepada zina
Allah SWT berfirman, "Dan janganlah kamu mendekati zina:
sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu
jalan yang buruk." (QS. Al-Isra: 32) Maksud ayat ini, janganlah kamu
melakukan perbuatan-perbuatan yang bisa menjerumuskan kamu pada
perbuatan zina. Di antara perbuatan tersebut seperti berdua-duaan
dengan lawan jenis ditempat yang sepi, bersentuhan termasuk
bergandengan tangan, berciuman, dan lain sebagainya.

2. Tidak menyentuh perempuan yang bukan mahramnya
Rasulullah SAW bersabda, "Lebih baik memegang besi yang panas
daripada memegang atau meraba perempuan yang bukan istrinya (kalau
ia tahu akan berat siksaannya). "

3. Tidak berduaan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya
Dilarang laki dan perempuan yang bukan mahramnya untuk berdua-duan.
Nabi SAW bersabda, "Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir,
maka jangan sekali-kali dia bersendirian dengan seorang perempuan
yang tidak mahramnya, karena ketiganya adalah setan." (HR. Ahmad)

4. Harus menjaga mata atau pandangan
Sebab mata kuncinya hati. Dan pandangan itu pengutus fitnah yang
sering membawa kepada perbuatan zina. Oleh karena itu Allah
berfirman, "Katakanlah kepada laki-laki mukmin hendaklah mereka
memalingkan pandangan (dari yang haram) dan menjaga kehormatan
mereka.....Dan katakanlah kepada kaum wanita hendaklah mereka
meredupkan mata mereka dari yang haram dan menjaga kehormatan
mereka..." (QS. An-Nur: 30-31)
Yang dimaksudkan menundukkan pandangan yaitu menjaga pandangan,
tidak melepaskan pandangan begitu saja apalagi memandangi lawan
jenis penuh dengan gelora nafsu.

5. Menutup aurat
Diwajibkan kepada kaum wanita untuk menjaga aurat dan dilarang
memakai pakaian yang mempertontonkan bentuk tubuhnya, kecuali untuk
suaminya. Dalam hadis dikatakan bahwa wanita yang keluar rumah
dengan berpakaian yang mempertontonkan lekuk tubuh, memakai minyak
wangi yang baunya semerbak, memakai "make up" dan sebagainya setiap
langkahnya dikutuk oleh para Malaikat, dan setiap laki-laki yang
memandangnya sama dengan berzina dengannya. Di hari kiamat nanti
perempuan seperti itu tidak akan mencium baunya surga (apa lagi
masuk surga)
Selagi batasan di atas tidak dilanggar, maka pacaran hukumnya boleh.
Tetapi persoalannya mungkinkah pacaran tanpa berpandang-pandanga n,
berpegangan, bercanda ria, berciuman, dan lain sebagainya. Kalau
mungkin silakan berpacaran, tetapi kalau tidak mungkin maka jangan
sekali-kali berpacaran karena azab yang pedih siap menanti Anda.
Wassallamu`allaikumsallam wr wb...


WAKTU DAN JALAN KELUARNYA

Assalamu’alaikum. wr.wb.
Facebooker's yang terhormat......

Waktu adalah menunjukkan saat hamba Allah melakukan suatu perbuatan.

Perbuatan mana oleh para ulama yang arif membagi empat waktu, dan tidak ada waktu yang kelima.

Pada setiap waktu tersebut, terdapat hak Allah SWT sebagai Robbmu, yakni waktu beribadah kepada-Nya.

Empat waktu itu adalah :

1. Waktu mendapat nikmat, digunakan untuk mendapatkan kenikmatan Allah SWT dengan jalan bersyukur kepada-Nya.

2. Waktu mendapat ujian dan cobaan, jalannya adalah ridha dan sabar.

3. Waktu melakukan ketaatan, jalannya adalah anugerah Allah yang memberi petunjuk.

4. Waktu melakukan maksiat, jalannya adalah bertaubat dan beristighfar.

Semoga keempat waktu tersebu dapat dipahami dan dilakukan dengan sungguh-sungguh baik ...amiin.

Wassalamu’alaikum. wr.wb. (MM 10062010)

kisah seorang suami yang berhati mulia.....

ada seorang ulama....

yang dia sangat tinggi ilmunya...

dan dia memiliki istri yang selalu menyakitinya dengan kata kata yang pedas...

kemudian salah satunya teman ulama tersebut mengatakan...

" wahai kawan..kenapa tak kau ceraikan saja istrimu yang selalu saja menyakitimu dengan kata katanya
yang sangat tajam seperti pedang,sedangkan kau mempunyai madu yang sangat mencintaimu karena banyaknya ilmumu"

ulama menjawab "sesungguhnya istriku adalah ujian dari allah untuk menebus dosa dosaku yang telah lalu,jika aku menceraikannya...belum tentu aku akan mendapatkan yang lebih baik darinya"

so...pikirkanlah...hikmah apa di balik itu...?????

Tanggung Jawab Keluarga Islami


Dasar dari seluruh elemen masyarakat adalah sebuah keluarga muslim. Pembinaan keluarga muslim berwujud pendidikan Islam dan pelaksana utama dari pendidikan ini adalah seorang ibu muslimah. Tegaknya sebuah keluarga muslim memberikan andil yang sangat besar bagi terlaksananya dakwah islamiyah. Islam memberikan tanggung jawab yang begitu agung kepada keluarga baik dia seorang ayah maupun ibu untuk memberikan pendidikan, pengetahuan, dakwah dan bimbingan kepada anggota keluarga. Pembinaan yang demikian inilah yang akan menyelamatkan dan memberikan penjagaan kepada diri dan keluarga sebagaimana perintah Allah :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (QS at-Tahrim : 6 )

Dalam hal ini Ali -radhiallahu 'anhu- dan Ibnu Abbas -radhiallahu 'anhu- menyatakan "berikanlah pendidikan, ajarilah dengan ketaatan kepada Allah, serta takutlah dari kemaksiatan. Didiklah anggota keluargamu dengan dzikir yang akan menyelamatkan dari api neraka" ( Ibnu Katheer & At tabari).

Berkaitan dengan tanggung jawab keluarga muslimah ini Nabi Muhammad -shallallahu alaihi wa sallam- menerangkan secara umum tanggung jawab seorang pemimpin dengan sabdanya :

أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ، وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ، أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Artinya : "Ketahuilah bahwa kalian semua adalah pemimpin, dan kalian akan ditanya tentang kepemimpinan kalian. Pemimpin di antara manusia dia akan ditanya tentang kepemimpinannya. Laki-laki adalah pemimpin bagi keluarganya dan dia akan ditanya tentang kepemimpinannya. Istri adalah pemimpin dalam rumah tangga serta anak-anak suaminya dan dia akan ditanya tentang mereka. Budak/ pembantu adalah pemimpin dari harta tuannya dan dia akan ditanya tentangnya. Ketahuilah bahwa kamu sekalian adalah pemimpin dan kalian akan ditanya tentang tentang kepemimpinannya" (HR Bukhari dan Muslim)

Apabila kita timbang tanggung jawab seorang suami dengan seorang isteri maka akan kita dapatkan bahwa tanggung jawab seorang isteri sangatlah besar. Karena dialah yang melahirkan sang anak, menyusuinya, dan menemani serta mendidik anak dari jam ke jam, hari ke hari. Bahkan ketika seorang anak masih balita, kemudian menginjak remaja dan menjelang dewasa, di dalam rumah maupun di luar rumah sang ibu senantiasa mewarnai bentuk kehidupan sang anak. Hingga mungkin sang ayah telah tiada maka ibulah yang tetap mendampingi putranya untuk menyongsong masa depan. Inilah hikmah diperintahkannya wanita untuk berada di rumahnya. Allah berfirman :

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى

Artinya : "Dan hendaknya kalian tinggal di rumah-rumah kalian dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu." ( QS Al Ahzab : 33)

Pentingnya Ilmu Dalam Pernikahan...

Bismillah minal Awal wal Akhir...

Pernikahan adalah hal yang fitrah….. didambakan oleh setiap orang yang normal, baik itu laki-laki maupun perempuan yang sudah baligh. Dan disyariatkan oleh Islam, sebagai amalan sunnah bagi yang melaksanakannya.

Allah Subhaanahu wa Ta’ala menciptakan manusia dengan rasa saling tertarik kepada lawan jenis dan saling membutuhkan, sehingga dengan itu saling mengasihi dan mencintai untuk mendapatkan ketenangan dan keturunan dalam kehidupannya. Bahkan pernikahan adalah merupakan rangkaian ibadah kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala yang di dalamnya banyak terdapat keutamaan dan pahala besar yang diraih oleh pasangan tersebut.

Walaupun demikian, banyak kita jumpai pada saudara-saudarai kita tealah salah menilai suatu pernikahan, bahkan di kalangan mereka tidak mengerti ilmu sekalipun.Langkah awal melakukan pernikahan didasari karena ingin lari dari suatu problem yang sedang dialami. Sebagai contoh kasus dibawah ini:

Fulanah adalah seorang muslimah, yang sudah mengkaji ilmu dien. Ia mempunyai konflik yang cukup berat dengan orang tuanya, mungkin dengan sedikitnya ilmu maka ia kurang bisa dalam bermuamalah dengan orang tuanya, atau mungkin juga karena kurang fahamnya tentang bagaimana pengalaman daripada Birrul-walidain (Berbakti kepada kedua orang tua-ed). Masalahnya ia akan dijodohkan dengan lelaki pilihan orang tuanya yang menurutnya tidak sepaham dalam hal manhaj (pemahaman). Alasan ini adalah terpuji di dalam Islam, namun cara pendekatan dan cara menolak kepada orang tuanya yang mungkinkurang baik. Keua orang tuanya mendesak terus agar ia menerima lelaki yang dianggap tepat untuk pasangan hidup anaknya. Fulanah sangat bingung, apalagi orangtuanya mulai mengancam dengan berbagai ancaman. Kebingungannya itu, ia kemukakan kepada salah seorang teman perempuannya sepengajian yang sudah nikah. Temannya itu pun dengan spontan menyarankan supaya dia menikah dengan teman suaminya. Fulanah dengan senang hati menerima usulan tersebut, sejuta harapan yang indah …. bayangkan ! Ia akan terbebas dari problem yang sedang ia hadapi dan dapat menjadi istri seseorang yang sefaham dengannya nanti … bisa ngaji sama-sama, bisa mengamalkan ilmu sama-sama. Lelaki yang dimaksudpun akhirnya merasa iba setelah mendengar cerita tentang keistiqomahan Fulanah. Dia beranggapan bahwa Fulanah lebih perlu ditolong, sekalipun cita-citanya yang menjadi taruhannya. Sebenarnya ia belum siap untuk menikah, karena sedang menimba ilmu dien bahkan baru mulai merasakan lezatnya menimba ilmu.

Singkat cerita akhirnya dengan izin Allah menikahlah mereka. Orang tuanya yang tadinya bersikeras, mengizinkan dengan ketulusan hati seorang bapak kepada putrinya, demi kebaikan anaknya. Pernikahan berlangsung dengan disaksikan oleh kedua orangtua Fulanah dan teman-temannya.

Mulanya pasangan ini kelihatan bahagia. Dengan seribu cita-cita dan angan-angan. Fulanah ingin membentuk rumah tangga yang Islami bersama suami yang akan selalu membimbing dia dan akan selalu bersama disampingnya.

Hari-hari terus berjalan sebulan-dua bulan…, mereka mulai mengetahui kelemahan masing-masing, dan mulailah timbul perasaan kecewa di hati mereka, harapan dan cita-cita tidak sesuai dengan kenyataan. Si isteri kurang mengetahui tentang hal-hal yang harus ia lakukan, misalnya ketika suami pulang dari luar rumah; ia berpenampilan seadanya, bahkan terkesan kusut dan tidak menarik. Mungkin ia menganggap suaminya orang baik yang tidak perlu memandang wanita yang berpenampilan indah dan menarik. Ini hanya satu contoh dan masih banyak hal lagi yang membuat suami kecewa. Sang suami yang sudah pernah merasakan lezatnya menimba ilmu, ingin kembali sibuk dalam majlis ilmu. Baginya duduk bersama teman-teman semajlis ilmu lebih mengasyikkan dari pada duduk bersama isteri yang “menjenuhkan”.

Fulanah yang masih kurang ilmu diennya, menilai bahwa suaminya telah menelantarkannya. Fulanah merasa tertekan melihat tingkah laku suaminya yang demikian. Tak tahu harus berbuat apa. Ia memang kurang mempunyai bekal ilmu untuk menghadapi pernikahan. Konflik rumah tangga pun terjadi. Ternyata konflik dengan orang tuanya yang dulu, lebih ringan rasanya dibanding dengan konfliknya yang sekarang. Kalau sudah seperti ini …. apa yang ingin ia lakukan? Cerai … dan kembali ke orang tua ? …. wal’iyadzubillah, bukan hal yang mudah !

Sesungguhnya kasus yang terjadi di atas banyak kita jumpai di kalangan muslim dan muslimah yang tanpa pikir panjang dan tanpa persiapan apa-apa dalam langkahnya menuju nikah. Bahkan ada problem rumah tangga yang lebih parah lagi akibat dari pernikahan yang tanpa dilandasi oleh ilmu dien, amalan dan ketaqwaan. Misalnya ada kemaksiatan yang terjadi di dalam rumah tangga tersebut ; suami menyeleweng atau sebaliknya, yang membuat rumah tangga menjadi runyam berantakan. Nikah yang katanya untuk mendapatkan kebahagiaan dan ketenangan serta untuk mewujudkan cita-cita yang indah dan mulia, menjadi sebaliknya. Akhirnya keluarga dan anak-anak yang akan jadi korban kecerobohan karena faktor ketergesaan.

Memang untuk mendapatkan keluarga sakinah seperti yang dicita-citakan setiap muslim dan muslimah, tidak semudah yang dibayangkan. Ternyata pemahaman ilmu dien yang cukup dari masing-masing pihak memegang peran penting untuk mewujudkan cita-cita tersebut, mengingat dalam rumah tangga banyak permasalahan yang akan timbul. Seperti bagaimana memenuhi hak dan kewajiban suami-istri, apa tugas masing-masing dan bagaimana cara mendidik anak. Bagaimana mungkin jika tidak kita persiapkan sebelumnya? Disinilah salah satu hikmah diwajibkannya bagi setiap muslim untuk mencari ilmu.

Pentingnya Ilmu

Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh sekelompok shahabat di antaranya Anas bin Malik radiyallahu ‘anhu :

“Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim”
(HR. Ahmad dalam Al’Ilal, berkata Al Hafidz Al Mizzi; hadits hasan. Lihat Jami’ Bayan Al-Ilmi wa Fadhlihi, ta’lif Ibnu Abdil Baar, tahqiq Abi Al Asybal Az Zuhri, yang membahas panjang lebar tentang derajat hadits ini)

Ilmu yang demaksud di atas adalah ilmu dien yaitu pengenalan petunjuk dengan dalilnya yang memberi manfaat bagi siapa pun yang mengenalnya.

Kita harus berilmu agar selamat hidup di dunia dan di akhirat. Karena dengan berilmu kita akan tahu mana yang diperintahkan oleh Allah Shallallaahu ‘alaihi wasallam dan mana yang dilarang, atau mana yang disunnahkan oleh Rasul-Nya dan mana yang tidak sesuai dengan sunnah (bid’ah).

Dengan ilmu kita tahu tentang hukum halal dan haram, kita mengetahui makna kehidupan dunia ini dan kehidupan setelah kematian yaitu alam kubur, kita tahu kedahsyatan Mahsyar dan keadaan hari kiamat serta kenikmatan jannah dan kengerian neraka, dan lain sebagainya.

Dengan ilmu dapat mendatangkan rasa takut kepada Allah Ta’ala, karena sungguh Dia Yang Maha Mulia telah berfirman :

“Sesungghnya yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hambaNya adalah orang yang berilmu (ulama).” (QS. Fathir : 28)

Dengan rasa takut kepada Allah ta’ala amalan yang kita lakukan ada kontrolnya, dibenci atau diridhai oleh Allah ta’ala.

Imam Ahmad berkata :
“Asalnya ilmu adalah takut (takwa) kepada Allah Ta’ala” (Lihat Hilyah Thalibul ‘Ilmi, ta’lif Bakr bin Abdillah Abu Zaid, hal. 13)

Orang yang berilmu akan tahu betapa berat siksa Allah sehingga ia takut berbuat maksiat kepada Allah. Ilmu juga membuat orang tahu betapa besar rahmat Allah Ta’ala sehingga dalam beramal ia selalu mengharap ridha-Nya semata.

Perlu diingat bahwa bukanlah yang dimaksud dengan orang berilmu itu adalah orang yang memiliki banyak kitab atau riwayat yang diketahui, tapi yang dinamakan berilmu apabila orang tersebut memahami apa yang disampaikan kepadanya dari ilmu-ilmu tersebut dan mengamalkannya. (Lihat Syarhus Sunnah oleh Al Imam Al Barbahari)

Ilmu merupakan obat bagi hati yang sakit dan merupakan hal yang paling penting bagi setiap manusia setelah mengenal diennya. Sehingga dengan mengenal ilmu dan mengamalkannya akan menjadi sebab bagi setiap hamba untuk masuk jannah-Nya Allah Ta’ala dan bila jahil terhadap ilmu bisa menyebabkan ia masuk neraka.

Ilmu adalah warisan dari para Nabi dan merupakan cahaya hati, setinggi-tinggi derajatnya di antara manusia dan sedekatnya-sedekatNya manusia kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah ta’ala :

“… Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat….” (Al Mujaadilah : 11)

Kebutuhan seorang hamba akan ilmu dien ini, melebihij kebutuhan akan makan dan minum sampai digambarkan bahwa kebutuhan ilmu itu sama seperti manusia membutuhkan udara untuk bernapas.

Ilmu Sebagai Landasan Untuk Membentuk Rumah Tangga

Karena nikah merupakan amalan yang sangat mulia di sisi Allah Subhaanahu wa Ta’ala dan merupakan rangkaian dari ibadah, maka menikah dalam Islam bukan hanya untuk bersenang-senang atau mencari kepuasan kebutuhan biologis semata. Akan tetapi seharusnyalah pernikahan dilakukan untuk menimba masyarakat kecil yang shalih yaitu rumah tangga dan masyarakat luas yang shalih pula sesuai dengan Al-Qur’an dan As Sunnah menurut pemahaman As Shalafus Shalih.

Perlu diketahui bahwa sesungguhnya pasangan suami isteri dalam kehidupan berumah tangga akan menghadapi banyak problem dan untuk mengatasinya perlu ilmu. Dengan ilmu, pasangan suami istri tahu apa tujuan yang akan dicapai dalam sebuah pernikahan yaitu untuk beribadah kepada Allah Subhaanahu wa Ta’ala, dan dalam rangka mencari ridha-Nya semata.

Di samping itu juga dengan ilmu sepasang suami-istri sama-sama mengetahui hak dan kewajibannya. Sehingga jalannya bahtera rumah tangga akan harmonis dan baik.

Suami dan istri juga diamanahi Rabb-Nya untuk mendidik anak keturunannya agar menjadi generasi Rabbani yang tunduk pada Al Qur’an dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman salaful ummah. Agar keturunan yang terlahir dari pernikahan tersebut tumbuh di atas dasar pemahaman, dasar-dasar pendidikan imand dan ajaran Islam sejak kecil sampai dewasanya. Sungguh … ini merupakan tugas yang berat dan tentu saja butuh butuh ilmu.

Dari sinilah terlihat betapa pentingnya ilmu sebagai bekal bagi kehidupan rumah tangga muslim.

Tarbiyah Dalam Rumah Tangga

Dalam rumah tangga, suami merupakan tonggak keluarganya, pemimpin yang menegakkan urusan anak dan istrinya.

Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman :

“Kaum laki-laki itu adalah pemipin bagi kaum wanita …” (An Nisaa : 34)

salah satu tugas suami sebagai qawwam adalah meluruskan keluarganya dari penyimpangan terhadap al-haq dan mengenalkan al-haq itu sendiri. Seharusnyalah seorang suami menyediakan waktunya yang terdiri dari 24 jam untuk mentarbiyah keluarganya yang dimulai dengan istri untuk dipersiapkan sebagai madrasah bagi keturunannya. Tumbuhkan kecintaan terhadap ilmu di hati istri (syukur kalau memang sejak sebelum nikah si istri sudah mencintai ilmu) agar kelak ia dapat mendidik anak-anaknya untuk mencintai ilmu dan beramal dengannya.

Walaupun Islam telah menetapkan bahwa memberikan pengajaran, mendidik dan mengarahkan istri merupakan salah satu kewajiban suami namun sangat disayangkan masih banyak kita jumpai suami yang melalaikan dan menggampangkan hal ini. Atau si suami merasa cukup dengan pengetahuan dien yang minim dari sang istri sehingga menganggap tidak perlu menyediakan waktu untuk mendidik dan memberikan nasehat. Mungkin kasus ini seperti ini tidak hanya kita jumpai di kalangan orang yang awam bahkan di kalangan du’at (para da’i). Kita lihat mereka sibuk mengurusi da’wah di luar rumah, sementara istrinya di rumah tidak sempat didakwahi. Akibatnya si istri tidak ngerti thaharah yang benar, shalat yang sesuai sunnah, mana tauhid mana syirik dan lain-lain (mungkin kalau si istri sebelum menikah sudah mempunyai ilmu, hal tersebut tidak menjadi masalah, tapi bagaimana kalau istrinya masih jahil ?) Sungguh hal ini perlu menjadi perhatian bagi para suami.

Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman :

“Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu ….” (QS. At-Tahrim : 6)

Berkata Imam Ali Radiyallahu ‘anhu juga Mujahid dan Qatadah dalam menafsirkan ayat diatas: “Jaga diri kalian dengan amal-amal kalian dan jaga keluarga kalian dengan nasehat kalian”

Dan sesungguhnya penjagaan itu tidak akan sempurna kecuali dengan iman dan amal yang baik setelah berupaya menjauhi syirik dan perbuatan maksiat. Semuanya ini menuntut adanya ilmu dan persiapan diri untuk mengamalkan apa yang telah diketahui (Lihat Aysaru At-Tafasir li Kalami Al-’Aliyul Kabir juz 5, hal. 387, ta’lif Abu Bakar Jabir Al Jazairi)

Berkata Imam Al Qurthubi dalam tafsirnya: “Karena itu wajib bagi kaum laki-laki (suami) untuk memperbaiki dirinya dengan ketaatan dan memperbaiki isterinya dengan perbaikan seorang pemimpin atas apa yang dipimpinnya. Dalam hadits yang shahih Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanyai tentang apa yang dipimpinnya. Imam merupakan pemimpin manusia dan ia akan ditanyai tentangnya dan laki-laki (suami) adalah pemimpin keluarganya dan akan ditanyai tentangnya.”

Al Qusyairi menyebutkan dari Umar Radiyallahu ‘anhu yang berkata tatkala turun ayat dalam surat At Tahrim di atas: “Wahai Rasulullah, kami menjaga diri kami, maka bagaimanakah cara kami untuk menjaga keluarga kami ?” Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab: “Kalian larang mereka dari apa-apa yang Allah larang pada kalian untuk melakukannya dan perintahkan mereka dengan apa yang Allah perintahkan.”

Berkata Muqatil: “Yang demikian itu wajib atasnya untuk dirinya sendiri, anaknya, istrinya, budak laki-laki dan perempuannya.”

Berkata Al-Kiyaa: “Maka wajib atas kita untuk mengajari anak dan istri kita akan ilmu agama, kebaikan serta adab.” (Lihat Tafsir Al Qurthubi juz 8, hal. 6674-6675).

Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam sebagai teladan yang termulia menyempatkan waktu untuk mengajari istrinya sehingga kita bisa mendengar atau membaca bagaimana kefaqihan ummul mu’minin ‘Aisyah Radiyallahu ‘anha.

Para shahabat beliau Radiyallahu ‘anhum, tatkala tatkala turun ayat ke 31 surat An Nur :

… Dan hendaklah mereka (wanita yang beriman) menutupkan kain kudung ke dadanya … (An Nur : 31)

Mereka pulang menemui istri-istrinya dan membacakan firman Allah di atas, maka bersegeralah istri-istri mereka melaksanakan apa yang Allah perintahkan (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, juz 3 hal. 284)

Ini merupakan contoh bagaimana suami menyampaikan kembali kepada istrinya dari ilmu yang telah didapatkannya di majlis ilmu, sudah seharusnya menjadi panutan bagi kita.

Sebagai penutup, kami himbau kepada mereka yang ingin menikah atau sudah menikah agar tidak mengabaikan ilmu, dan berupaya memilih pasangan yang cinta akan ilmu agar kelak anak turunan juga dididik dalam suasana kecintaan akan ilmu.

Wallahu a’lam

Karya : Ida & Ummu Ishaq Zulfa Husein
Sumber : Muslimah/Edisi XVII/Muharram/1418/1997

Semoga Kita Semua Dianugerahi-Nya Jiwa yg Ridha, Qana'ah dan Tawadhu....


Vicky
Halaqah Sirrul Barokah

Adab Melamar

Adab-Adab Melamar

Secara umum, kegiatan pelamaran ini dilakukan oleh pihak lelaki kepada pihak wanita, walaupun boleh bagi wali wanita untuk menawarkan walinya kepada seorang lelaki yang dianggap pantas dan baik agamanya. Hal ini sebagaimana dalam kejadian yang terjadi antara tiga manusia terbaik umat ini setelah nabinya, ‘Abdullah bin ‘Umar -radhiallahu ‘anhuma bercerita:

“Tatkala Hafshah bintu ‘Umar ditinggal mati oleh suaminya yang bernama Khunais bin Hudzafah As-Sahmy -beliau termasuk sahabat Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- yang wafat di Medinah-, maka ‘Umar ibnul Khoththob berkata, “Saya mendatangi ‘Utsman bin ‘Affan lalu saya menawarkan Hafshah kepadanya, maka dia menjawab, “Saya pertimbangkan dulu”, maka sayapun menunggu hingga beberapa malam lalu dia mendatangiku dan berkata, “Telah saya putuskan, saya tidak mau dulu menikah pada saat-saat ini”. Kemudian saya menemui Abu Bakr dan berkata, “Jika engkau mau saya akan menikahkan engkau dengan Hafshah bintu ‘Umar”, maka Abu Bakr diam dan tidak membalas tawaranku, dan sikapnya itu lebih berpengaruh padaku daripada penolakan ‘Utsman. Maka sayapun menunggu selama beberapa malam dan akhirnya Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melamarnya (hafshah) maka sayapun menikahkannya dengan beliau”.17

Imam Al-Bukhary memberikan judul bab untuk kisah ini dengan ucapan beliau, Bab: (Bolehnya) seseorang menawarkan putri atau saudara perempuannya (untuk dinikahi) kepada orang-orang yang baik”.

Dan boleh juga bagi seorang wanita untuk menawarkan dirinya kepada lelaki yang sholeh dan memiliki kemuliaan agar lelaki tersebut mendatangi orang tuanya (wanita tersebut) untuk melamarnya. Imam Al-Bukhary -rahimahullah- berkata, “Bab: Seorang wanita menawarkan dirinya kepada seorang lelaki yang sholeh”, lalu beliau membawakan hadits Anas bin Malik -radhiallahu ‘anhu- bahwa beliau berkata:

“Seorang wanita datang kepada Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan menawarkan dirinya kepada beliau (untuk dinikahi) …”18.

Sisi pendalilan dari kisah ini adalah adanya taqrir (persetujuan) Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- terhadap perbuatan wanita ini.

Peringatan:

Hendaknya hal ini19 tidak dilakukan kecuali oleh seorang wanita yang merasa aman dari fitnah demikian pula pihak lelakinya, sebagaimana amannya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan shahabiyah di atas dari fitnah. Dan di zaman yang penuh kerusakan seperti ini dimanakah kita bisa mendapatkan lelaki dan wanita yang merasa aman dari fitnah terhadap lawan jenisnya?! Karenanya, walaupun asal hal ini dibolehkan, akan tetapi di zaman ini hendaknya seorang wanita meninggalkan perbuatan seperti ini karena tidak jarang -bahkan inilah kenyataannya- kedua belah pihak terjatuh ke dalam fitnah yang besar tatkala seorang wanita menawarkan dirinya kepada lelaki yang dianggap sholih.

Fitnahnya bisa terjadi dari beberapa sisi:

1. Membuka pintu-pintu percakapan yang tidak bermanfaat -bahkan mengarah kepada kefajiran- yang berkepanjangan dan berlanjut antara seorang wanita dan lelaki yang bukan mahramnya, baik secara langsung, lewat telepon, sms, email dan selainnya. Disinilah awal kerusakan akan muncul.

2. Seorang wanita akan merendahkan dan melembutkan suaranya ketika berbicara dengan laki-laki.

3. Ketika penawaran seorang wanita diterima oleh lelaki tapi ditolak oleh wali dari lelaki tersebut maka biasanya mereka tetap melakukan komunikasi karena sudah adanya keterikatan hati antara keduanya dengan adanya penawaran tersebut, na’udzu billahi min dzalik.

Berikut penyebutan adab-adab dalam pelamaran yang harus diperhatikan oleh kedua belah pihak:

1. Disunnahkan nazhor (memandang/melihat) kepada calon pinangan.

Yakni melihat kepada apa-apa yang bisa membuat dia tertarik untuk menikahinya, atau sebaliknya ketika dia melihat calonnya dan mendapati ada sesuatu yang tidak dia senangi darinya maka dia boleh untuk membatalkan pelamarannya. Imam Ibnu Qudamah berkata, “Kami tidak mengetahui adanya perselisihan di kalangan para ulama akan bolehnya seseorang yang mau menikahi seorang wanita untuk memandang kepadanya”.20

Berikut beberapa dalil yang menunjukkan disunnahkannya bagi kedua belah pihak untuk saling melihat sebelum meneruskan pelamaran:

1. Hadits Jabir bin ‘Abdillah -radhiallahu ‘anhuma- secara marfu’:

“Jika salah seorang di antara kalian melamar seorang wanita, maka jika kamu mampu untuk melihat apa yang bisa membuat dia tertarik untuk menikahinya maka hendaknya dia lakukan”.

Jabir berkata, “Maka sayapun melamar seorang wanita lalu saya melihatnya dengan sembunyisembunyi (tanpa sepengetahuannya) sampai akhirnya saya melihat darinya apa yang membuat saya tertarik untuk menikahinya maka sayapun menikahinya”.21.

2. Hadits Al-Mughirah bin Syu’bah -radhiallahu ‘anhu-.Beliau berkata, “Saya mendatangi Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- lalu saya menceritakan kepada beliau perihal seorang wanita yang saya lamar, maka beliau bersabda:

“Pergilah kamu (kepadanya) dan lihatlah dirinya, karena hal itu akan membuat kasih sayang di antara kalian akan langgeng”22.

Hadits ini menunjukkan bahwa pembolehan untuk nazhor bukan hanya terkhusus bagi kaum lelaki tapi juga dibolehkan bagi seorang wanita yang akan dilamar. Karena kasih sayang itu muncul dari kedua belah pihak sehingga pembolehan di sini juga berlaku bagi kedua belah pihak.

3. Hadits Abu Humaid -radhiallahu ‘anhu- secara marfu’:

“Jika salah seorang di antara kalian melamar seorang wanita, maka tidak mengapa baginya untuk melihat kepadanya jika memang dia melihatnya hanya untuk pelamarannya, walaupun wanita tersebut tidak mengetahui (dirinya sedang dilihat)”23.

Beberapa perkara penting yang berkaitan dengan nazhor:

1. Syarat-syarat dibolehkannya nazhor:

(a). Dia sudah memiliki niat yang kuat untuk menikah dan tidak ada yang menghalanginya untuk menikah kecuali tinggal mencari calon istri. Hal ini berdasarkan hadits Abu Humaid di atas, yang mana Nabi bersabda, “jika memang dia melihatnya hanya untuk pelamarannya”.

(b). Batasan terakhir dari bolehnya memandang adalah sampai dia melihat sesuatu yang membuat dia tertarik untuk menikahinya. Maka kapan dia telah melihat hal tersebut sehingga niatnya sudah bulat untuk menikahinya atau sebaliknya dia tidak melihat sesuatu yang membuat dirinya tertarik sehingga berniat untuk membatalkan pelamarannya, maka seketika itu juga dia wajib untuk menundukkan pandangannya dan tidak lagi melihat kepada wanita tersebut.

Karena hal ini (melihat kepada lamaran) hanyalah rukhshoh (keringanan) yang syari’at berikan bagi orang yang mau melamar, maka jika sudah tetap dia akan menikahinya atau sebaliknya dia akan membatalkan pelamarannya maka hokum melihat kepada wanita yang bukan mahram kembali kepada hukum asal, yaitu haram. Allah -Subhanahu wa Ta’ala- berfirman:

قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاء بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاء بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُوْلِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاء وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِن زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعاً أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadapwaita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”. (QS. An-Nur: 30-31)

Imam Ibnul Qoththon Al-Fasy berkata, “Jika sang pelamar wanita (pihak lelaki) telah mengetahui bahwa wanita tersebut tidak mau menikah dengannya dan bahwa wali wanita tersebut tidak menerima lamarannya, maka tidak boleh ketika itu dia (melanjutkan) memandang, walaupun dia tadi telah melamar. Karena dia hanya diperbolehkan untuk memandangnya sebagai sebab dari berlangsungnya pernikahan, maka jika dia sudah yakin akan penolakannya (wanita atau walinya) maka kembalilah (hukum) memandang (wanita yang bukan mahram) kepada hukum asal”.24

(c). Tentunya nazhor ini tidak boleh dilakukan dalam keadaan berkhalwat (berduaduaan), akan tetapi sang wanita wajib ditemani oleh mahramnya yang laki-laki.

Hal ini berdasarkan keumuman hadits-hadits yang melarang dari khalwat, seperti sabda Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam-:

“Tidak boleh seorang lelaki berkhalwat (berduaan) dengan seorang wanita, karena yang ketiganya adalah setan”25.

2. Batasan tubuh wanita yang boleh dilihat.

Imam Ibnu Qudamah -radhiallahu ‘anhu- berkata, “Tidak ada perselisihan di kalangan para ulama akan bolehnya melihat kepada wajahnya”26.

Adapun selain wajah maka para ulama berselisih, dan yang paling kuat adalah apa yang dinukil dari Imam Ahmad -dalam satu riwayat- bahwa boleh bagi seorang lelaki untuk melihat aurat wanita yang biasa nampak darinya ketika wanita tersebut bersama mahramnya, seperti: kepala, leher, tangan, betis, dan yang semisalnya, inilah yang dikuatkan oleh Imam Ibnu Qudamah dalam Al-Mughny (9/490).

Hal ini berdasarkan hadits Jabir di atas, dimana Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak membatasi bagian tubuh tertentu yang boleh dilihat, akan tetapi beliau bersabda, “melihat apa yang bisa membuat dia tertarik untuk menikahinya”.

Dan inipula yang dipahami dan diamalkan oleh 2 sahabat besar ‘Umar ibnul khoththob dan ‘Ali bin Abi Tholib -radhiallahu ‘anhuma-. Diriwayatkan oleh ‘Abdurrozzaq dalam Al-Mushonnaf (6/163) dan Sa’id bin Manshur dalam As-Sunan (521) bahwa ‘Umar pernah melamar putri Ali, maka ‘Ali berkata, “Sesungguhnya dia masih kecil”, maka ada yang mengatakan kepada Umar bahwa ‘Ali tidak menginginkan dengan ucapannya kecuali untuk menahan putrinya. Maka ‘Ali berkata, “Saya akan menyuruh anak saya mendatangimu, jika dia ridho maka dia adalah istrimu”. Maka diapun mengutus putrinya lalu ‘Umar mendatanginya lalu menyingkap betisnya, maka putri dari ‘Ali berkata, “Turunkan, seandainya kamu bukan amirul mu`minin (pemimpin kaum mu`minin) maka saya akan menampar lehermu”.

3. Hukum nazhor tanpa sepengetahuan wanita yang bersangkutan.

Yang merupakan pendapat Imam Empat kecuali Imam Malik bahwasanya boleh melakukan nazhor kepada calon pinangan dengan seizin atau tanpa izin dari wanita tersebut, hal ini dinukil oleh Imam An-Nawawy dalam Al-Majmu’27. Imam Ibnu Qudamah berkata, “Tidak mengapa melihat wanita tersebut dengan izinnya atau tanpa izinnya, karena Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan untuk melihat dan memutlakkannya”.28

2. Berpenampilan sederhana dalam melamar.

Tidak diperbolehkan bagi pelamar untuk takalluf (membebani diri) dengan memakai pakaian yang sangat indah serta parfum yang sangat harum. Hal ini karena kesediaan seorang wanita untuk dinazhor, sama sekali bukanlah tanda akan keridhoan dari kedua belah pihak, dan sangat mungkin sang wanita akan terfitnah dengan penampilan lelaki tersebut sehingga menimbulkan perkara-perkara yang tidak terpuji, khususnya jika pelamarannya ditolak oleh salah satu pihak.

Dan yang merupakan tuntunan salaf dalam hal ini adalah sebagaimana yang diceritakan oleh ‘Abdullah bin Thowus bahwa ayahnya berkata kepadanya mengenai wanita yang hendak dinikahi oleh anaknya, “Pergilah engkau melihatnya”. ‘Abdullah berkata, “Maka sayapun memakai pakaian (yang indah), lalu memakai minyak dan bergaya”, maka tatkala Thowus melihat anaknya berpenampilan seperti itu, dia berkata, “Duduklah kamu”, beliau benci melihat anaknya melakukan nazhor dengan penampilan seperti itu29.

3. Boleh bagi wanita yang akan dinazhor untuk berhias sekedarnya.

Dari Subai’ah Al-Aslamiyah -radhiallahu ‘anha- bahwa dulunya beliau adalah istri dari Sa’ad bin Khaulah lalu suaminya wafat30 dalam haji wada’ dan beliau (suaminya) adalah badry (pasukan perang badar). Dan beliau melahirkan sebelum 4 bulan 10 hari dari hari wafatnya suami beliau. Maka setelah itu, beliau ditemui oleh Abus Sanabil bin Ba’kak tatkala beliau sudah selesai nifas dalam keadaan beliau (Subai’ah) memakai celak mata - dalam sebagian riwayat, maka salah seorang dari kerabat suamiku menemuiku dalam keadaan saya sudah memakai khidhob dan berhias”-. Maka dia (Abus Sanabil) berkata kepadanya, “Kuasailah dirimu -atau ucapan semisalnya- mungkin kamu sudah mau menikah lagi, sesungguhnya waktunya adalah 4 bulan 10 hari dari hari wafatnya suamimu. Beliau (Subai’ah) berkata, “Maka saya mendatangi Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- dan saya ceritakan kepada beliau apa yang dikatakan oleh Abus Sanabil bin Ba’kak, maka beliau bersabda:

“Engkau telah halal (untuk menikah) ketika engkau melahirkan”31.

‘Amr bin ‘Abdil Mun’im berkata menjelaskan batasan dari berhias, “Telah berlalu dalam hadits Subai’ah penjelasan mengenai sifat berhias bahwa hiasannya tidak boleh melewati dari sekedar celak mata dan khidhob. Maka tidak boleh bagi seorang wanita berhias untuk pelamarnya melebihi hal tersebut dengan menggunakan make up (arab: masahiqul mikyaj) atau memakai parfum dan wewangian atau yang sejenisnya berupa hiasan yang besar (arab: mugollazhoh). Akan tetapi dia hanya terbatas menggunakan celak mata dan khidhob saja, karena perhiasan selain keduanya sangat terlarang dinampakkan di depan orang yang bukan mahramnya”32.

4. Beristikhoroh.

Jika proses nazhor sudah selesai, maka disunnahkan bagi keduanya untuk melakukan sholat istikhoroh, berharap taufik dan petunjuk dari Allah -Subhanahu wa Ta’ala-. Hal ini ditunjukkan dalam kisah pengutusan Zaid bin Haritsah oleh Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- untuk melamar Zainab -radhiallahu ‘anha-, maka Zainab berkata:

“Saya tidak akan melakukan sesuatu apapun kecuali dengan perintah Tuhanku”. Maka beliaupun (Zainab) berdiri dan melaksanakan sholat di mesjidnya”33.

Imam An-Nasa`iy memberikan judul bab untuk hadits ini dalam Sunannya (6/79),

“Sholatnya seorang wanita jika dia dilamar dan dia beristikhoroh kepada Tuhannya”.

Adapun kaifiat dan do’a sholat istikhoroh, maka hal ini disebutkan dalam hadits Jabir bin ‘Abdillah -radhiallahu ‘anhu- secara marfu’:

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْتَخِيْرُكَ بِعِلْمِكَ، وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ الْعَظِيْمِ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلاَ أَقْدِرُ، وَتَعْلَمُ وَلاَأَعْلَمُ، وَأَنْتَ عَلاَّمُ الْغُيُوْبِ. اَللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ -وَيُسَمَّى حَاجَتَهُ- خَيْرٌ لِيْ فِيْ دِيْنِيْ وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ -أَوْ قَالَ: عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ- فَاقْدُرْهُ لِيْ وَيَسِّرْهُ لِيْ ثُمَّ بَارِكْ لِيْ فِيْهِ، وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ شَرٌّ لِيْ فِيْ دِيْنِيْ وَمَعَاشِيْ وَعَاقِبَةِ أَمْرِيْ -أَوْ قَالَ: عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ- فَاصْرِفْهُ عَنِّيْ وَاصْرِفْنِيْ عَنْهُ وَاقْدُرْ لِيَ الْخَيْرَ حَيْثُ كَانَ ثُمَّ أَرْضِنِيْ بِهِ.

“Jika salah seorang di antara kalian sudah berniat melakukan suatu perkara, maka hendaknya dia melakukan sholat 2 raka’at yang bukan sholat wajib, setelah sholat hendaknya dia bedo’a, [“Ya Allah, saya beristikhoroh kepada-Mu dengan ilmu-Mu, dan saya meminta kemampuan kepad-Mu dengan kemampuan-Mu, dan saya meminta keutamaan-Mu yang Maha Agung. Karena sesungguhnya Engkaulah yang menakdirkan dan saya tidak menakdirkan, Engkau Maha Mengetahui sedang sayatidak mengetahui, dan Engkau Maha Mengetahui yang ghoib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa perkara ini baik bagiku untuk agamaku, untuk kehidupanku, dan untuk akhir perkaraku - atau beliau berkata, “untuk perkaraku cepat atau lambat”- maka takdirkanlah hal itu untukku,permudahlah untukku, kemudian berkahilah aku di dalamnya”. Jabir berkata, “Kemudian dia menyebutkan keperluannya”34.

5. Sederhana dalam mahar.

Jika proses nazhor sudah selesai dan kedua belah pihak telah saling meridhoi, maka berarti sang wali telah menunaikan kewajibannya dengan baik. Kemudian setelah itu, hendaknya wali tersebut berbuat baik kepada wanita yang dia perwalikan dengan cara mempermudah proses pernikahan dan tidak memasang target mahar yang tinggi, karena sesungguhnya keberkahan seorang wanita terletak pada murahnya maharnya.

Sesungguhnya Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- sangat membenci dan menegur keras seorang wali yang menetapkan mahar terlalu tinggi, dalam sabda beliau kepada seorang lelaki yang akan menikahi seprang wanita Anshor, dan dia mengabarkan kepada Nabi bahwa maharnya 4 ‘awaq. Maka beliau bersabda:

“Engkau menikahinya dengan mahar 4 ‘awaq?!, seakan-akan kalian memahat (baca: mengambil) perak dari gunung ini …”35.

Kemarahan beliau ini wajar, karena mahar yang tinggi akan sangat menyulitkan bagi pihak lelaki, karena seorang lelaki itu menikah dengan tujuan untuk mendapatkan ketenangan dan ketentraman bukan bertujuan agar dia menanggung utang yang banyak.

Dan sungguh telah ada suri tauladan yang baik pada diri Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- tatkala beliau menikahkan seorang wanita dengan seorang lelaki dari kalangan sahabat beliau dengan mahar hafalan dan pengajaran Al-Qur`an dari lelaki tersebut36.

(Sumber : www.al-atsariyyah.com versi pdf dan disusun kembali untukhttp://kaahil.wordpress.com/)

Catatan :

17 (HR. Al-Bukhary (9/481-Al-Fath)

18 HR. Al-Bukhary (2/246)

19 Yakni seorang wanita menawarkan dirinya kepada seorang lelaki yang sholih.

20 Al-Mughny (9/489)

21 HR. Abu Daud (2082) dengan sanad yang hasan.

22 HR. At-Tirmidzy (1087), An-Nasa`iy (6/69), dan Ibnu Majah (1866). Potongan pertama dari hadits dikuatkan

dalam riwayat Muslim (2/1040) dari hadits Abu Hurairah.

23 HR. Ahmad (5/424) dengan sanad yang shohih

24 An-Nazhor fii Ahkamin Nazhor karya beliau hal. 391.

25 Riwayat At-Tirmidzy (2165) dari ‘Umar bin Khoththob -radhiallahu ‘anhu- dan Ibnu Majah (2/64) dari Jabir bin Samurah dan dishohihkan oleh Al-Albany dalam Ash-Shohihah (430).

26 Al-Mughny (9/490)

27 (16/138) cet. Darul Fikr.

28 Al-Mughny (9/489)

29 Riwayat ‘Abdurrozzaq dalam Al-Mushonnaf (6/157) dengan sanad yang shohih.

30 Suami beliau wafat sedangkan beliau dalam keadaan hamil, sebagaimana yang nampak dari kisah.

31 Riwayat Ahmad (6/432) dengan sanad yang shohih.

32 Adabul Khitbah waz Zifaf hal. 23.

33 Riwayat Muslim (2/1048) dari sahabat Anas bin Malik -radhiallahu ‘anhu-.

34 Riwayat Al-Bukhary (3/58-Al-Fath)

35 Riwayat Muslim (2/1040) dari sahabat Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu-.

36 Hal ini disebutkan dalam hadits Sahl bin Sa’ad As-Sa`idy -radhiallahu ‘anhuma- riwayat Al-Bukhary (3/369) dan Muslim (2/1041)

BANGKRUT AMAL

Setiap orang yang beriman tentu ingin mendapatkan surga. Untuk itu, selain taat melaksanakan ibadah ritual dan beramal shaleh, kita hendaknya juga menjauhi perilaku buruk yang dianggap biasa, tetapi sebenarnya tercela, yaitu bergunjing (ghibah) tentang aib orang lain, dan mencari-cari cacat dan kekurangan orang lain. Dalam tulisan 25 (25/04/09), ketika membahas tentang etika berbicara, hal ini telah disinggung sepintas.

Bergunjing itu sangatlah dilarang dalam ajaran Islam. Jangankan bergunjing, berprasangka buruk (suudzon) saja kita diperingatkan oleh Allah SWT sebagaimana firman-Nya: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian dari kamu menggunjing tentang sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaramu yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” [QS Al Hujuraat (49): 12].

Islam mengenal apa yang namanya ‘bangkrut amal’, yaitu orang yang rajin melaksanakan shalat, rajin berpuasa, rajin beribadah lainnya, dan baik amal shalehnya, tetapi pada hari perhitungan nanti semua amalannya habis, karena disamping amal baiknya yang banyak, rupanya ia juga suka bergunjing, bahkan akhirnya dosa orang yang dipergunjingkan akhirnya ia tanggung sebagai hukuman dari Allah SWT. Itulah orang yang mengalami ‘bangkrut amal’.

Islam mengajarkan bahwa apabila kita mendengar atau membaca berita aib tentang orang lain, maka simpan saja dalam hati, dan jangan disebar luaskan lagi, tetapi jadikan bahan muhasabah, apakah kita lebih baik dari dia? Islam mengajarkan bahwa terhadap aib seseorang janganlah kita mempergunjingkannya, dan wajib bagi kita yang mendengar aib tersebut untuk menutupinya.

Rasulullah SAW bersabda:
• “Kebanyakan hal yang memasukkan manusia ke dalam surga adalah taqwa kepada Allah dan ahlak yang baik, dan kebanyakan hal yang memasukkan manusia ke dalam neraka adalah mulut dan kemaluan". [HR Tirmidzi].
• “Orang yang menutupi aib orang lain di dunia, niscaya Allah akan menutup aibnya kelak di hari kiamat.” [HR Muslim].

Rasulullah SAW juga menyatakan bahwa bergunjing itu lebih berat dosanya dari pada berzina. Berzina kemungkinan masih bisa diampuni oleh Allah SWT jika kita bersungguh-sungguh memohon ampun kepada-Nya, dan kita tidak mengulangi kembali perbuatan itu, karena Allah Maha Pengampun, meskipun sesungguhnya berzina ini termasuk salah satu dosa yang tidak bisa / sangat sulit diampuni.

Tetapi jika kita bergunjing tentang seseorang maka Allah SWT tidak akan mengampuni dosa kita jika orang yang digunjingkan itu belum memberi ma'af kepada kita, dan juga harus disertai dengan usaha merehabilitasi nama baik orang tersebut kepada siapa bergunjing tersebut sudah kita sebarkan. Sungguh sangat berat untuk menebus kesalahan ini, karena menyangkut dua aspek, di mana bergunjing itu bukan sekedar urusan antar manusia, melainkan juga terkait dengan firman Allah SWT dalam QS Al Hujuraat (49): 12 tersebut di atas, yang bisa menjadikan orang berdosa.

Di zaman informasi canggih ini, terutama media cetak dan elektronik, akibat buruknya justru membuat kita secara tidak sadar sering bergunjing tentang pribadi figur publik, misalnya para pemimpin atau kalangan selebriti. Sekarang coba kita pikir, maukah amal kita yang sudah susah payah kita kumpulkan, kita berikan gratis pada orang yang selingkuh, pengedar atau pengguna narkoba, koruptor, pembunuh dan sebagainya?

Tentu kita tidak menginginkan demikian. Karena itu hindarilah bergunjing tentang siapapun. Hendaknya kita tidak masuk dalam kumpulan yang tidak memberikan manfaat dan suka ngobrol untuk bergunjing. Banyak orang menggunjingkan orang yang tidak disukainya, padahal penggunjing itu sendiri yang akan menderita kerugian. Waspadalah!

Diriwayatkan bahwa seseorang yang besok di hari perhitungan diberikan kepadanya catatan amalnya oleh Malaikat, setelah dia melihat catatan amal itu maka dia berkata: "Ya Allah, di mana amal shalatku, puasaku dan amal ketaatanku?" Maka dikatakan kepadanya: "Hilang seluruh amal kebaikanmu karena kamu mempergunjingkan manusia".

Di sisi lain Malaikat memberikan catatan amal seseorang yang dipergunjingkan. Setelah dia melihat amal-amal kebaikannya yang tidak pernah dilakukannya, maka dijelaskan oleh Malaikat kepadanya: "Inilah catatan amal-amal kebaikan manusia yang telah mempergunjingkanmu, sedang kamu tidak menyadarinya". Jadi amalan orang yang bergunjing itu berpindah kepada orang yang dipergunjingkan.

Betapa banyak manusia pada umumnya menggemari bergunjing, yang berarti sebanyak itu pulalah manusia ‘pemakan bangkai saudaranya sendiri’. Rasulullah SAW bersabda: “Sibuk mencari keburukan atau aib orang lain adalah salah satu dari 6 perkara yang bisa merusak amal kebaikan, 5 perkara lainnya adalah keras hati, terlalu cinta dunia, sedikit mempunyai rasa malu, panjang lamunan / khayalan dan kedzaliman yang tidak pernah berhenti”. [HR Ad-Dailami].

Jika kita telaah satu persatu perkara yang disebutkan dalam Hadis di atas, maka kita bisa muhasabah untuk perbaikan diri kita masing-masing. Di samping itu kita juga bisa mengevaluasi hal-hal sbb:
1. Ucapan-ucapan siapa saja yang sibuk mencari keburukan atau aib mereka yang sedang berbuat kebajikan, bekerja melaksanakan amanat yang diembannya.
2. Siapa saja yang keras hati atau ngotot ingin menjatuhkan orang lain.
3. Berapa banyak orang yang mendambakan kedudukan karena mereka terlalu cinta dunia.
4. Mereka yang disebut pada butir 3, pada umumnya juga mereka yang disebut pada butir 1, 2 dan 3, yang sedikit mempunyai rasa malu.
5. Mereka yang disebut pada butir 3, pada umumnya juga panjang lamunan / khayalan.
6. Tidak terbatas pada kelima perkara di atas, siapa saja yang melakukan kedzaliman yang tidak pernah berhenti, tentu mereka telah merusak amalnya sendiri.

Kita bukan saja belum bisa bangkit dari kebangkrutan di bidang ekonomi, melainkan justru diperparah dengan ‘kebangkrutan amal’. Para elite bangsa ini lebih suka bergunjing untuk menjatuhkan lawan politiknya. Ketika mereka masih menjabat, pada umumnya tidak mampu melaksanakan amanah yang diembannya dengan baik, justru sudah pensiun / lengser mereka lebih banyak mempergunjingkan pemimpin yang sedang melaksanakan tugasnya.

Hal ini terjadi karena mereka dalam ‘kekosongan’, sama halnya dengan merusak tubuh mereka sendiri dengan mengkonsumsi narkoba. Setelah menggunjing biasanya diikuti dengan menghujat. Dan begitu pula masyarakat pada umumnya suka bergunjing dan menghujat tetangga kiri kanan, atau siapa saja yang tidak disukainya. Maka pantaslah jika negeri ini tak kunjung bisa bangkit dari keterpurukan, karena para elite bangsa dan masyarakat lebih suka bergunjing daripada berlomba berbuat kebajikan (fastabiqul khairat).

Dalam hal bergunjing, biasanya sering diikuti dengan memfitnah. Maka celakalah yang kecanduan bergunjing mencari-cari aib orang disertai memfitnah terhadap orang yang tidak disukainya. Bergunjing saja sudah berdosa, merugikan dan bahkan bisa bangkrut amal, apalagi ditambah dengan memfitnah, maka bisa bangkrut total. Hamba yang shaleh akan berusaha menjauhi sifat yang buruk ini, yang akan merusak hubungan cinta serta menimbulkan kedengkian di antara sesama Muslim. Allah SWT berfirman: “Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang mudah bersumpah lagi hina. Yang banyak mencela, serta penyebar fitnah”. [Al Qalam (68): 10-11]. Dalam kaitan ini Rasulullah SAW bersabda: “Tidak akan masuk surga orang yang suka menghambur fitnah. [HR Hudzaifah].

Namun ada bergunjing yang tidak diharamkan jika disertai dengan maksud-maksud baik, Misalnya membahas suatu masalah moral dan etika, masalah karakter manusia atau masalah sosial kemasyarakatan dengan tujuan untuk melakukan perbaikan di bidang pendidikan. Untuk membeberkan kesaksian di pengadilan atau penyidikan, memberikan ceramah agama / pendidikan menerbitkan tulisan yang bertujuan melakukan perbaikan bagi masyarakat agar tidak meniru perbuatan jahat dan maksiat yang dilakukan seseorang, dan membahas masalah sosial lainnya, bergunjing tidak diharamkan.

Sesungguhnya istilah ‘bergunjing’ itu lebih sesuai digunakan jika tujuannya iseng atau buruk, sehingga membicarakan sesuatu tentang orang lain dengan maksud baik seperti disebutkan dalam paragrap di atas, lebih tepat digunakan istilah ‘mengulas’. Dalam tulisan-tulisan di Al Mustaqiim, kami editor sering mengulas berbagai masalah sosial, termasuk perilaku buruk para elite bangsa dan sekelompok masyarakat, atau institusi yang perlu dikritisi dan diperbaiki. Al Mustaqiim tidak akan bermanfaat jika tidak mengulas dan mengkritisi tentang peristiwa-peristiwa penting yang meresahkan masyarakat.

Menanggapi peristiwa pembunuhan sadis dan keji yang dilakukan oleh Riyan, editor pernah memberikan ulasan dalam suatu ceramah subuh di masjid. Ada baiknya kami kutip sebagian dari ceramah tersebut, antara lain sbb:

“Kasus pembunuhan yang sadis dan menghebohkan beberapa waktu yang lalu, ada beberapa kualifikasi yang muncul dalam kasus seperti itu, yakni; 1) Nafsu yang mencapai tingkat penyimpangan luar biasa dalam diri manusia, sehingga ia sulit mengendalikannya. 2) Unsur syaithaniyah yang menempel dalam diri manusia maupun jin, yang berposisi di antara karakter, sifat dan nafsu itu sendiri. Syeitan itu bukan nafsu, bukan sifat, bukan karakter, namun ia berada di segitiga kegelapan yang mendorong terus menerus ke wilayahnya, sehingga manusia terhijab dari Allah SWT. 3) Ilmu yang berkolaborasi dengan jin-syeitan, sangat berpengaruh dalam kepribadian orang itu. 4) Tradisi bermaksiat, memanjakan kesenangan, meremehkan perintah dan larangan agama. 5) Lingkungan keluarga, konflik sejak dalam kandungan, bisa jadi pemicu tumbuhnya watak konflik dan kepribadian ganda.
Maka siapa saja yang melakukan kekerasan yang sadis dan keji, maka pada saat yang sama ia sedang kehilangan imannya, terhanyut oleh nafsunya, sehingga walaupun ia beragama dan beribadah dengan tekun, namun ia dikendalikan oleh nafsu kebinatangan, kebuasan dan kesyahwatannya.” [Hermanto]