Oleh: Ust. Abu Sulaiman Aman Abdurrahman
Materi kali ini adalah berkenaan dengan beberapa kekeliruan dalam takfir (pengkafiran).
Pertama: Sering kita mendengar pada realita bahwa ada kelompok-kelompok yang mencap atau memvonis orang yang tidak membai’at amir dan masuk ke dalam kelompoknya sebagai orang kafir, atau mereka juga mengkafirkan orang yang keluar dari kelompoknya tersebut. Mereka berdalil dengan beberapa hadits yang mereka fahami secara keliru, di antaranya hadits shahih riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Barangsiapa keluar dari ketaatan dan meninggalkan jama’ah dan dia mati, maka matinya adalah mati jahiliyyah”.
Hadits ini mereka fahami dengan pemahaman mereka sendiri, dan mereka mengartikan (ber-istinbath) bahwa jama’ah dalam hadits itu adalah jama’ah mereka. Dan mereka mengartikan “mati jahiliyyah” dengan mati dalam keadaan kafir. Lalu mereka mengambil kesimpulan; bahwa orang yang keluar dari jama’ah atau tidak taat lagi kepada amir (pemimpin) mereka maka matinya adalah mati dalam keadaan kafir.
Mereka juga berdalil dengan hadits riwayat Al Bukhari-Muslim dari Ibnu Mas’ud radliyallahu ‘anhu yang mereka pelintir maknanya, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan: “Tidak halal orang yang telah bersyahadat Laa ilaaha illallaah dan bahwa aku adalah Rasulullah, kecuali dengan salah satu dari tiga hal: Orang zina muhsan, orang muslim membunuh orang muslim dengan sengaja, orang yang meninggalkan dien-nya dan meninggalkan jama’ahnya”
Mereka mengambil potongan hadits “…dan meninggalkan jama’ahnya” terus mereka artikan jama’ah dalam hadits itu kepada jama’ah mereka, dan dengan hadits ini mereka mengambil kesimpulan bahwa orang yang keluar dari jama’ah mereka adalah telah halal darah dan hartanya.
Pemahaman yang seperti ini adalah pemahaman yang keliru, karena menempatkan dalil bukan pada tempatnya, dan karena yang dimaksud dengan Jama’ah dalam hadits tadi adalah jama’ah syar’iyyah.
Imam Asy Syaukani mengatakan bahwa: “jama’ah dalam hadits itu adalah bukan hanya sebatas jama’ah yang satu-satunya di dunia, akan tetapi juga jama’ah kaum muslimin yang memiliki wilayah (kewenangan) dan imam yang menyatukan kaum muslimin yang berada di wilayahnya dan menegakkan hukum Allah, dan melindungi mereka dari serangan musuh-musuh mereka”
Kemudian hadits “…mati jahiliyyah” maksudnya adalah bukan mati dalam keadaan kafir seperti apa yang diklaim oleh sebagian orang, akan tetapi maksudnya adalah mati seperti matinya orang jahiliyyah yang tidak mempunyai pemimpin yang menyatukan mereka. Ini berdasarkan dalil-dalil yang lainnya, seperti firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
“Jika ada dua kelompok dari kaum mukminin saling berperang, maka damaikan di antara keduanya. Jika salah satunya aniaya terhadap yang lain, maka perangikah yang aniaya sampai dia kembali kepada ketentuan Allah”. (Al Hujurat: 9)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyebut kelompok yang memerangi atau menganiaya, yaitu kelompok lain terutama ketika orang membuat kekuatan lain yang menentang pemerintah muslim yang sah atau disebut bughat, akan tetapi Allah tidak menyebutnya sebagai orang kafir tapi orang mu’min yang berbuat aniaya terhadap saudaranya.
Dan bukti lain yaitu ketika Ali radliyallahu ‘anhu di-bai’at dan waktu itu ada kesalahpahaman yang menyebabkan akhirnya Mu’awiyyah radliyallahu ‘anhu tidak mau berbai’at kepada Ali, bahkan bukan sekedar tidak mau berbai’at, tapi sampai mengangkat senjata memerangi pemimpin yang sah yaitu Ali radliyallahu ‘anhu.
Di sini, kelompok Ali adalah kelompok (imamah) yang sah, sedangkan kelompok Mu’awiyyah adalah bughat sebagaimana yang Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam kabarkan dalam hadits dari Ummu Salamah dalam hadits riwayat Muslim: “Amar akan dibunuh oleh kelompok yang al baghiyyah (bughat)”, sedangkan Amar terbunuh ketika perang Shiffin berada di barisan Ali radliyallahu ‘anhu dan yang memeranginya adalah kelompok pasukan Mu’awiyyah.
Di sini Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan bahwa Amar akan dibunuh oleh kelompok al baghiyyah, dan itu adalah pasukan Mu’awiyyah radliyallahu ‘anhu. Dan tidak ada seorangpun shahabat yang mengkafirkan Mu’awiyyah dan kelompoknya yang mana di dalamnya ada Amr ibnu Al ‘Ash dan yang lainnya yang tidak mau membai’at kepada Ali.
Jadi keluar dari jama’ah yang syar’iy atau Khilafah Ar Rasyid yaitu Ali radliyallahu ‘anhu dan bahkan membangkang serta memeranginya itu tidak dikafirkan, maka apa gerangan dengan orang yang sekedar keluar dari jama’ah yang lain yang tidak memiliki wilayah dan tidak memiliki syaukah (kekuatan)?.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sebelumnya menyebutkan tentang status bughat, yaitu orang atau kelompok yang yang memerangi pemerintah muslim yang sah. Status bughat juga dibedakan di dalam peperangan daripada orang-orang murtad yang memiliki syaukah, beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan dalam dalam hadits dari Ibnu Umar radliyallahu ‘anhuma: Rasul mengatakan kepada Ibnu Mas’ud: “Tahukah kamu hai ibnu Ummi ‘Abd (Ibnu Mas’ud) bagaimana hukum Allah tentang orang yang membangkang (bughat) dari ummat ini”, Abdullah ibnu Mas’ud berkata: “Allah dan Rasul-Nya lebih megetahui”, Rasulullah berkata: “Orang yang luka di antara mereka tidak boleh dihabisi, tawanannya tidak boleh dibunuh, yang lari tidak boleh dikejar, dan harta rampasannya tidak boleh dibagikan”. ini telah tsabit dari Ali radliyallahu ‘anhu secara mauquf dari berbagai jalan yang diriwayatkan dari Abi Syaibah dan Al Hakim.
Jadi, statusnya juga dibedakan dari orang kafir. Ini tentang bughat, yaitu orang yang membangkang kepada pemerintah muslim yang sah. Dan orang yang mengkafirkan dengan hadits “Barangsiapa keluar dari ketaatan dan meninggalkan jama’ah dan dia mati, maka matinya adalah mati jahiliyyah”, maka itu penafsiran yang tidak mendasar. Jika saja keluar dari jama’ah muslim dan membangkang kepada pemerintah muslim yang sah itu tidak dikafirkan, maka apa gerangan apabila keluar dari jama’ah-jama’ah yang sebagiannya adalah tidak syar’iy, baik karena tidak ada tauhid yang mereka pegang ataupun karena ketidakjelasan…???
Ini adalah kekeliruan dalam takfir yang sering kita dengar atau kita saksikan yang dilakukan oleh sebagian kelompok, yang karena mereka taqlid atau memahami Al Qur’an dan As Sunnah tidak dengan pemahaman as salaf ash shalih, akan tetapi mereka pahami sendiri kemudian mereka doktrinkan terhadap murid-muridnya, lalu mereka mengkafirkan orang yang tidak mau membai’at kepada amirnya ataupun orang yang keluar daripada jama’ahnya dengan dalih “Barangsiapa keluar dari ketaatan dan meninggalkan jama’ah dan dia mati,maka matinya adalah mati jahiliyyah”.
Pemahaman ini juga adalah lebih parah daripada ‘aqidah Khawarij, karena ‘aqidah Khawarij mengkafirkan orang karena dosa besar, sedangkan pemahaman ini telah membuat orang mengkafirkan orang yang hanya sekedar keluar dari jama’ahnya yang padahal itu bukan perbuatan dosa, dan bahkan banyak orang yang keluar dari jama’ah itu adalah orang-orang yang bertauhid dan orang-orang yang berjihad di jalan Allah.
Ke dua: Termasuk kekeliruan dalam takfir juga adalah orang yang memiliki pemahaman bahwa hukum asal setiap orang dalam kondisi seperti ini adalah kafir, kecuali orang yang terang-terangan di hadapannya menyatakan pengingkaran kepada sistem yang ada. Ini adalah Takfir Bil Umum (mengkafirkan secara umum) dalam arti bahwa setiap orang dihukumi asalnya adalah kafir.
Ini diakibatkan karena salah memahami atau menetapkan ucapan-ucapan atau atsar-atsar yang berkaitan dengan hal ini (takfir), seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya tentang masalah Anshar thaghut Musailamah Al Kadzdzab, ketika Khalid ibnul Walid yang menangkap Muja’ah ibnu Murarah, kemudian oleh Khalid dijadikan tawanan. Muja’ah mengatakan: “Saya tidak murtad”, lalu Khalid berkata: “Kamu telah keluar dari apa yang kamu yakini (dari Islam)”, Muja’ah berkata: “Saya tetap seperti dahulu di atas bai’at Rasulullah”, lalu kata Khalid: “Kenapa kamu tidak berbicara seperti apa yang dilakukan oleh Tsumamah ibnu Utsal Al Yasykuriy?, kalau kamu takut berbicara mengingkari mereka, kenapa kamu tidak cepat bergabung dengan kami?”. Kemudian juga atsar tentang menghukumi seluruh penduduk Mekkah ketika Futuh Mekkah sebagai orang kafir, juga ketika seluruh pengikut Musailamah yang divonis kafir.
Kondisi-kondisi seperti Futuh Makkah atau kelompok Musailamah seharusnya ditempatkan pada kondisi apabila suatu kelompok atau wilayah yang akan dihukumi kafir semua yang ada di dalamnya, maka kondisi yang ada adalah ketika konfrontasi lalu Islam mendominasi dan kekuatan Islam (syaukahnya) penuh dan ada kesempatan untuk bergabung dengan pasukan kaum muslimin. Akan tetapi dari dalil ini diterapkan atau disimpulkan oleh sebagian orang bahwa jika orang tidak menyatakan keyakinannya maka dia itu dihukumi kafir walaupun dia tidak melakukan kekafiran.
Ini adalah pemahaman yang salah karena bertentangan dengan nash-nash Al Qur’an, di antaranya:
“Dan orang mukmin dari keluarga Fir’aun yang menyembunyikan keimanannya mengatakan…” (QS. Al Mu’min: 28)
Dalam ayat ini, disebutkan bahwa orang tersebut berada di tengah kaum musyrikin dan keluarganya yang kafir, akan tetapi Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyebutnya orang mukmin yang menyembunyikan keimanannya.
Jadi orang di mana saja, bila dia merealisasikan Al Islam, baik di tengah kaum muslimin atau di tengah orang kafir harbiy, maka jika dia berlepas diri dari kemusyrikan dan iman kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala maka dia adalah mu’min. Sedang mu’min di sini ada yang menjaharkan tauhidnya dan ada yang menyembunyikan keyakinannya tanpa ikut larut dalam kekafiran mereka seperti dalam ayat di atas.
Dan dalam firman-nya Subhanahu Wa Ta’ala:
“Jika yang terbunuh itu adalah orang mu’min dari kaum yang berasal dari musuh kamu, maka kamu harus memerdekakan budak yang mu’min…” (An Nisa: 92)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyebutkan bahwa jika yang terbunuh itu orang mu’min yang berada di tengah kaum musyrikin, maka tidak ada diyat, tapi yang ada adalah memerdekakan budak yang mu’min. Karena yang terbunuh adalah orang mu’min, maka dengan memerdekakan budak yang mu’min berarti dia menghidupkan orang mu’min lagi. Tidak ada diyat karena diyat itu diberikan kepada keluarga (ahli waris), sedangkan keluarga orang ini adalah orang-orang kafir (musuh), maka tidak mungkin memberikan harta kepada musuh yang nantinya akan dipergunakan untuk memerangi kaum muslimin, maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala hanya mewajibkan ketika orang mu’min membunuh orang mukmin yang mana kaumnya adalah kaum yang kafir, maka kewajibannya hanya memerdekakan budak (hamba sahaya) yang mu’min.
Orang yang berada di tengah kaum musyrikin, bahkan itu adalah musuh, akan tetapi jika dia adalah orang mu’min yang berlepas diri daripada kemusyrikannya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebutkan bahwa dia itu sebagai orang mu’min.
Kekeliruan pemahaman ini juga timbul dari salah penerapan ketika memahami salah satu ucapan Syaikh Hamd ibnu ‘Atiq dalam risalah Status Penduduk Negeri di mana disebutkan dalam kitab tersebut: “Jika di suatu negeri kemusyrikan sudah terang-terangan, yang haram sudah dilegalkan, maka negeri itu penduduknya halah darah dan hartanya”. Sedangkan yang terjadi di Indonesia ini; terjadi kemusyrikan yang terang-terangan, yang halal sudah dilegalkan maka berarti seluruh penduduk negeri ini halal darah dan hartanya, kecuali orang yang menampakkan pengingkaran… Ucapan ini bahkan bukan dalil dan padahal ucapan Syaikh Hamd ibnu ‘Atiq ini juga bekenaan dengan negeri yang mana statusnya negeri tetangga sangat mendomonasi kekuatannya dan ada kemungkinan untuk bergabung dengan negeri yang mendominasi kekuatannya tersebut, akan tetapi tidak dilakukan oleh orang-orang yang mengaku beriman di negeri tersebut, maka muncul ucapan Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq tersebut.
Jadi, mengkafirkan manusia secara umum dalam arti ketika menghukumi seseorang itu muslim harus mengorek-ngorek dulu keyakinannya, maka itu adalah tidak ada sumbernya dari as salaf ash shalih, akan tetapi yang ada dalam ‘aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah adalah siapa yang menampakkan keislaman (keberlepasan diri dari kemusyrikan), maka dia dihukumi muslim di manapun dan kapanpun, dan sebaliknya orang yang menampakkan kekafiran yang nyata (tanpa dipaksa), maka dia kafir di manapun dan kapanpun.
Ini berkaitan dengan hukum dhahir, sedangkan masalah bathin maka perhitungannya atas Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kita menghukumi orang berdasarkan dhahir, walaupun apa yang ada di hadapan kita itu sebenarnya adalah orang kafir, akan tetapi karena dia menampakkan keislaman dan tidak menampakkan kekafirannya di hadapan kita, maka dia itu muslim di hadapan kita, dan dengan ini, maka kita telah mengikuti ajaran Allah. Walaupun ternyata orang yang ada dihadapan kita itu sebenarnya adalah orang kafir di hadapan Allah, karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak membebani atau mewajibkan kita kecuali dengan sesuatu yang dhahir yang nampak di hadapan kita.
Oleh karena itu ‘Umar ibnul Khaththab radliyallahu ‘anhu mengatakan dalam hadits riwayat Bukhariy: “Sesungguhnya orang-orang dahulu dihukumi berdasarkan wahyu pada zaman Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga Rasulullah dapat mengetahui orang-orang munafiq dengan wahyu. Sekarang wahyu sudah putus, dan kami menghukumi kalian berdasarkan apa yang nampak dari kalian”.
Jadi, kita diperintahkan menghukumi orang berdasarkan dhahir, sebagaimana orang munafiq dihukumi muslim secara dhahir akan tetapi dia kafir secara bathin. Begitu juga orang yang manampakkan kekafiran, maka dia dihukumi kafir. Keimanan di dalam bathin tidaklah manfaat selama dhahirnya menampilkan kekafiran, kecuali hanya ada satu kondisi yaitu ketika ikrah (dipaksa). Kekafiran hanya ada rukhshah pada saat dipaksa.
Ini adalah dua di antara kekeliruan-kekeliruan dalam tkafir. Yang pertama hadits: “Barangsiapa keluar dari ketaatan dan meninggalkan jama’ah dan dia mati, maka matinya adalah mati jahiliyyah”, lalu “jama’ah” dalam hadits itu mereka tarik maknanya sebagai jama’ah mereka, lalu makna “matinya adalah mati jahiliyyah” dalam hadits itu mereka artikan sebagai mati dalam keadaan kafir, padahal ini sangat bathil. Dan yang ke dua adalah mengkafirkan secara umum atau takfir bil umum, dan ini juga adalah pengkafiran yang keliru.
Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi kita, keluarganya dan para shahabatnya, serta orang-orang yang mengikutinya sampai hari kiamat.
Alhamdulillahirrabbil ’aalamiin…
Jumat, 11 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar