“Barangsiapa yang dapat merasakan buah amal ibadahnya di dunia, itulah tanda diterimanya amal ibadahnya itu di akhirat.”
Buah amal ibadah dapat dirasakan manis lezatnya, dapat diketahui dari kelezatan dan kenikmatan di waktu seorang hamba melaksanakan ibadah-ibadahnya, terasa sebagai nikmat yang tak ada taranya. Apabila seorang hamba belum mampu merasakan kelezatan dan manisnya amal dan ibadahnya, berarti ia belum mengeyam buahnya ibadah, apabila buah amal ibadah itu belum dirasakan berarti ia belum mendapatkan sesuatu pun. Di akhirat pun ia tidak menikmati hasil amal ibadahnya sendiri.
Al Ghulam menerangkan, “Saya telah melatih diri salat lail selama duapuluh tahun, barulah saya dapat menikmatinya salat malam itu, setelah duapuluh tahun saya melatih diri terus menerus.” Sabit Al Banany menjelaskan pula, “Saya telah melatih diri membaca Al Qur’an selama duapuluh tahun, setelah duapuluh tahun itu, baru saya dapat merasakan kenikmatannya.” Sebagian Ulama menjelaskan lagi: Adapun membaca Al Qur’an itu barulah akan memperoleh hawala (manis lezatnya) ialah dengan menertibkan bacaannya. Menikrmti bacaan Al-Qur’an atau zikir adalah buah yang manis cita rasanya dari ibadah seorang hamba, seperti juga seorang hamba membiasakan membaca salawat kepada junjungan Nabi Saw., adalah dengan membaca dan meresapi dalam hatinya.
Demikian juga ketika berzikir dengan asmaul husna, menyebut nama-nama Allah dengan perasaan yang mendalam dan pikiran yang cemerlang serta dada yang luas, mengkhidmati kebesaran Allah dari sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Abu Turab mengomentari, “Apabila seorang hamba bersungguh-sungguh dalam suatu amal, niscaya ia akan merasakan manis (hawalah)nya. Apabila ia ikhlas dalam amalnya, maka ia pun akan merasakan manisnya amal itu, di waktu ia mengerjakannya. Amal seperti ini yang dengan izin dan rahmat Allah akan terkabul.”
Suatu amal akan ditolak dan tidak merasakan hawalah-nya, adalah amal ibadah yang masih bercampur dengan kehendak lain seperti riya’ dari ujub. Firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 30, “Allah Ta’ala hanya akan menerima amal ibadah dari para muttaqin.”
Semua amal ibadah yang dijalankan dengan penuh ketaatan dan dihiasi dengan keikhlasan oleh seorang hamba, niscaya akan diperolehnya kelezatan hawalah, dan akan diperoleh buahnya di akhirat dengan sempurna. Sebaliknya, amal ibadah yang dilaksanakan dengan niat yang jauh dari rida Allah, bercampur dengan kepentingan duniawi yang kotor, kemudian dihiasi dengan ujub dan riya ; niscaya tidak memperoleh apa pun di dunia, dan di akhirat ia akan menjadi orang yang bangkrut.
Walaupun demikian, jangan seorang hamba merasa bangga atas amal ibadahnya, apabila ia mampu merasakan hawalah dan kenikmatan amal ibadahnya itu, atau merasa puas, sebab perasaan demikian akan mencampurkan amal ibadahnya dengan ujub dan riya’. Akibatnya akan merusak amal dan selanjutnya ia tidak akan merasakan hawalah dan kenikmatannya. Di akhirat pun ia tidak mendapatkan apa-apa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar