Jumat, 11 Juni 2010

Belajar Menjadi Hamba Yang Rendah Hati

Kadang kita bertanya mengapa seorang nabi seperti Elia yang mampu datang dan berkata kepada raja Ahab dari Israel: "Demi Tuhan yang hidup, Allah Israel, yang kulayani, sesungguhnya tidak akan ada embun atau hujan pada tahun-tahun ini, kecuali kalau kukatakan." (I Raja-Raja 17:1). Ia dapat menurunkan api dari langit untuk membakar persembahan yang telah disiram dengan air (1 Raja-Raja 18:38). Ia juga dengan berani membunuh 450 nabi baal dihadapan raja Ahab. Namun apa yang terjadi, ketika Izebel, permaisuri, mendengar perbuatannya itu dan mengancam akan membunuhnya, Elia ketakutan dan lari bersembunyi (I Raja-Raja 19).

Apakah sikap Elia seperti itu tidak mengurangi kesaksiannya? Bukankah imannya kepada Allah yang ia percaya mampu membuatnya dapat menahan hujan sehingga tidak turun di Israel sampai ia memintanya? Bukankah imannya kepada Allah mampu membuatnya menurunkan api dari langit untuk membakar semua persembahan? Apa lagi yang kurang dari padanya sehingga ia harus takut pada seorang perempuan dan lari bersembunyi? Ia yang berani berkata kepada raja, namun harus lari ketakutan dan bersembunyi dari ancaman seorang perempuan.

Pertanyaan seperti ini sering menjadi bahan pergumulan dalam kita membaca dan merenungkan cerita dari para nabi Tuhan. Mengapa seorang nabi Tuhan yang memiliki Allah yang mahakuasa, Allah semesta alam, yang imannya begitu besar sehingga dapat menunda hujan dan menurunkan api dari langit, tetapi sering bertingkah aneh. Pada saat tertentu ia berani bahkan berani menantang 450 nabi baal dihadapan raja dan seluruh Israel dan kemudian membunuh mereka, namun pada saat yang lain bahkan lari ketakutan atas ancaman hanya seorang perempuan.

Namun itulah cara pikir manusia. Sebagai manusia kita sering menginginkan seorang pahlawan yang tak terkalahkan, sama seperti Rambo dalam film. Pahlawan kita adalah orang yang selalu berani berhadapan dengan siapa saja. Namun cara manusia berpikir tidak sama dengan cara Allah. Tuhan sering menggunakan cara-cara yang berbeda bahkan sering sangat tidak masuk akal untuk menunjukkan betapa besar kuasanya. Allah tidak tergantung pada cara pikir manusia. Allah tidak tergantung pada kebiasaan manusia dalam mengerjakan sesuatu. Allah memilih cara-cara yang sering tak masuk akal untuk menunjukkan kepada kita bahwa Ia adalah Tuhan yang mahakuasa, tidak ada yang mustahil baginya.

Didalam setiap cara yang Tuhan gunakan ada rencana khusus bagi hamba-hambaNya. Elia harus melarikan diri, karena memang bukan kemampuan Elia yang membuat segala sesuatu itu terjadi. Bukan Elia yang mampu menunda hujan. Bukan Elia yang mampu menurunkan api dari langit. Tetapi Tuhan yang memberikan itu semua. Tuhan yang berkenan itu terjadi. Elia meminta kepada Tuhan dan Tuhan berkenan itu terjadi. Namun bukan karena kemampuan Elia. Bukan karena kemahakuasaan Elia, tetapi karena Tuhan.

Melalui pelarian itu, Allah ingin mengajarkan kepada Elia arti kerendahan hati. Allah mengajarkan Elia agar tidak menjadi sombong karena ia mampu menunda hujan. Tidak menjadi sombong karena ia mampu menurunkan api dari langit. Bukan Elia yang harus dimuliakan oleh orang Israel, tetapi Tuhan, Allah semesta langit, yang harus dimuliakan.

Tuhan mengajarkan kepada hamba-hambaNya untuk hanya bergantung pada kuasa Tuhan sendiri. Hamba yang baik tahu menempatkan diri dan memuliakan Tuhannya, bukan dirinya sendiri.

Memang mudah sekali bagi kita manusia setelah memiliki imam yang dapat menyembuhkan orang, yang dapat membuat mujisat, kemudian terperosok dalam keagungan dan kehormatan diri sendiri. Pada kasus Elia, perbuatan yang spektakuler, dramatis, dihadapan seluruh kaum Israel dapat dengan mudah membuat ia terperosok menjadi mabuk pujian manusia dan melupakan panggilan kenabiannya sendiri yaitu membuat bangsa Israel kembali kepada Allah dan hanya bersandar kepada Allah bukan pada kemampuan Elia. Elia hanyalah alat Tuhan dan tidak bisa menggantikan Tuhan.

Melalui ancaman Izebel, Allah mengajarkan kepada Elia untuk menjadi hamba yang setia yang selalu bersandar kepada Tuhan. Elia telah belajar dari pengalaman itu sehingga ia berkenan kepada Tuhan. Ia menjadi salah satu manusia yang tidak mati, tetapi diangkat ke surga dengan kereta kencana.

Melalui perjalanan hidup Elia kita belajar bagaimana menjadi hamba dan anak-anak Tuhan yang rendah hati, yang selalu bersandar kepada Tuhan dan bukan kepada kemampuan diri kita sendiri. Kita belajar untuk memuliakan Tuhan dalam setiap langkah kita, melalui setiap berkat dan mujizat yang Tuhan perkenankan terjadi dalam hidup kita. Tuhan menyertai kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar