Sabtu, 01 Agustus 2009

bukan putus cinta biasa

bukan putus cinta biasa
Entah apa yang ada dalam pikiranmu. Kau masih terdiam di situ. Tanpa kata. Tanpa gerakan. Laksana karang. Hanya sesekali jemarimu menyeka beberapa bulir kristal yang turun gemulai satu per satu dari sudut matamu.
Mata itu, setiap kali matahari memanggang bumi, selalu membawaku ke sebuah mata air pegunungan. Menikmati damai. Engkau tahu itu. Tapi kini, semuanya harus kita akhiri sampai di sini. Ya, sampai di sini saja. Meski halaman buku catatan harian kita masih banyak yang utuh.
Selaksa kabut pekat yang dihasung bala tentara Iblis selama ini telah membuat kita selalu salah dalam mengeja cinta. Aku bisa bayangkan, para kurcaci selama ini terbahak-bahak saat melihat kita dengan terbata-bata menyimpulkan bahwa cinta adalah memiliki, menikmati, dan menguasai.
Atas nama cinta, berdua kita teguk puluhan sepi. Atas nama cinta pula aku menuntutmu berbagi kekuasaan atas lentik jemari indahmu. Bahkan juga atas nama cinta, kumakruhkan senyum manismu itu atas seluruh pria jagad raya. Ah, Padahal cinta tidak pernah menuntut apa-apa, meski hanya sekedar jawaban “I love you too”. Bahkan cemburu pun bukan tanda dari cinta. Ia hanyalah sepenggal egoisme. Cinta itu memberi, bukan menerima, apalagi menuntut. Satu-satunya yang dikehendaki cinta hanyalah kebahagiaan bagi orang yang kita cintai. Itu saja.
Pernahkah kau menengadah ke langit dan bertanya, di manakah Tuhan Kau menyimpan bahagia? Tataplah butiran-butiran yang diturunkan ke bumi itu. Bukan, itu bukan sekedar serpihan-serpihan nada. Itu adalah puisi. Maka rapat pejamkan matamu, lebar bukalah hatimu. Bacalah, manisku. Sebentar lagi kau akan tahu, bahwa bahagia ada di tanah seberang, bukan di pekarangan. Ke sanalah setiap kekasih seharusnya membawa terbang kekasihnya.
Tidakkah kau ada waktu untuk membalas sapaan angin? Kemarilah sayang, di bawah kelebatan cahaya lilin, aku ingin mengajakmu mendengarkan bisikannya. Sebentar lagi kau akan tahu bahwa puluhan teguk sepi milik kita ternyata adalah mata-mata pisau yang merobek-robek sayap. Kita telah tidak hanya salah jalan. Tulang-tulang kita juga remuk redam begitu parah. Sebentar lagi kau akan rasakan betapa sakitnya.
Kata putusku berangkat dari sini. Mudah-mudahan engkau mengerti.
Tapi jujur kuakui, semua ini terasa perih. Andaikan saja engkau dari tadi menghitung berapa kali aku menarik nafas panjang, kau juga pasti akan tahu betapa ada berton-ton batu di pundakku. Namun seperti yang biasa kau katakan padaku setelah berbincang dengan kupu-kupu, pengorbanan adalah kata kunci dari segala apa yang ingin kita raih. Usah menangis. Lupakan saja semuanya. Biarkan semua musnah menjadi debu, terbang disapu angin, dan hilang dalam tiada.
“Tidak bisa,” suara serakmu pecah perlahan, mengaliri pori-pori dinding. “Aku tidak bisa melupakan semua ini begitu saja, kecuali kalau Tuhan menghendakinya, memberikanku amnesia atau apapun lainnya”.
“Yang aku tahu, Tuhan tidak pernah meminta kita membayar ridha-Nya dengan cara melupakan orang yang kita cintai,” lanjutmu menghempaskanku ke rerumputan, menelanjangi kemunafikanku. Sejatinya, aku pun tidak akan kuasa menghapus sejarahmu dari benakku. Bagaimana itu bisa kulakukan bila hampir di setiap penghujung malam, namamu selalu kusebut di antara puluhan lembar doa yang kukirim ke langit tujuh. Aku pun terdiam, dan memang giliranmu untuk bicara.
“Aku tidak tahu harus bicara apa. Ada saatnya kata tidak bisa menjelaskan apa-apa ”
Hening. Semua berakhir dengan sunyi. Kau beranjak pergi, pulang bersama matahari yang hampir sampai di ujung cakrawala, meninggalkanku sendiri ditikam pilu. Terasa berat melepaskanmu, seberat langkah gontaimu di senja yang merah ini. Semoga alam raya esok pagi akan menjadi saksi di hadapan-Nya atas apa yang terjadi pada kita hari ini. Setidaknya kita sudah benar mengeja cinta.
Kuncup Indah, Juni 2004
http://nadhiv.wordpress.com.../

Tidak ada komentar:

Posting Komentar