PENTINGNYA PENYEMBUHAN DENGAN AL-QUR’AN DAN AS-SUNNAH
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Tidak diragukan lagi bahwa penyembuhan dengan Al-Qur’an dan dengan apa yang diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa ruqyah [1], merupakan penyembuhan yang bermanfaat sekaligus penawar yang sempurna.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Katakanlah ; Al-Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman” [Fushshilat : 44]
“Dan Kami turunkan dari Al-Qur’an sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman” [Al-Israa : 82]
Pengertian “dari Al-Qur’an”, pada ayat di atas adalah Al-Qur’an itu sendiri. Karena Al-Qur’an secara keseluruhan adalah penyembuh, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat di atas [2]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Hai sekalian manusia, sesungguhnya telah datang kepada kalian pelajaran dari Rabb kalian, dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada, dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman” [Yunus : 57]
Dengan demikian, Al-Qur’an merupakan penyembuh yang sempurna di antara seluruh obat hati dan juga obat fisik, sekaligus sebagai obat bagi seluruh penyakit dunia dan akhirat. Tidak setiap orang mampu dan mempunyai kemampuan untuk melakukan penyembuhan dengan Al-Qur’an. Jika pengobatan dan penyembuhan itu dilakukan secara baik terhadap penyakit, dengan didasari kepercayaan dan keimanan, penerimaan yang penuh, keyakinan yang pasti, terpenuhi syarat-syaratnya, maka tidak ada satu penyakit pun yang mampu melawan Al-Qur’an untuk selamanya. Bagaimana mungkin penyakit-penyakit itu akan menentang dan melawan firman-firman Rabb bumi dan langit yang jika (firman-firman itu) turun ke gunung, maka ia akan memporak-porandakan gunung-gunung tersebut, atau jika turun ke bumi, niscaya ia akan membelahnya.
Oleh karena itu, tidak ada satu penyakit hati dan juga penyakit fisik pun melainkan di dalam Al-Qur’an terdapat jalan penyembuhannya, sebab kesembuhan, serta pencegahan terhadapnya bagi orang yang dikaruniai pemahaman oleh Allah terhadap Kitab-Nya. Dan Allah Azza wa Jalla (Yang Mahaperkasa lagi Mahaagung) telah menyebutkan di dalam Al-Qur’an beberapa penyakit hati dan fisik, juga disertai penyebutan penyembuhan hati dan juga fisik.
Adapun penyakit-penyakit hati terdiri dari dua macam, yaitu : penyakit syubhat (kesamaran) atau ragu, dan penyakit syahwat atau hawa nafsu. Allah yang Mahasuci telah menyebutkan beberapa penyakit hati secara terperinci yang disertai dengan beberapa sebab, sekaligus cara penyembuhan penyakit-penyakit tersebut. [3]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Dan apakah tidak cukup bagi mereka, bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) sedang dia dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya di dalam Al-Qur’an itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman” [Al-Ankabuut : 51]
Al-Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah mengemukakan.
“Barangsiapa yang tidak dapat disembuhkan oleh Al-Qur’an, berarti Allah tidak memberikan kesembuhan kepadanya. Dan barangsiapa yang tidak dicukupkan oleh Al-Qur’an, maka Allah tidak memberikan kecukupan kepadanya” [4]
Mengenai penyakit-penyakit badan atau fisik, Al-Qur’an telah membimbing dan menunjukkan kita kepada pokok-pokok pengobatan dan penyembuhannya, dan juga kaidah-kaidah yang dimilikinya. Yakni, bahwa kaidah pengobatan penyakit badan secara keseluruhan terdapat di dalam Al-Qur’an, yaitu ada tiga point.
1). Menjaga kesehatan
2). Melindungi diri dari hal-hal yang dapat menimbulkan penyakit
3). Mengeluarkan unsur-unsur yang merusak badan. [5]
Jika seorang hamba melakukan penyembuhan dengan Al-Qur’an secara baik dan benar, niscaya dia akan melihat pengaruh yang sangat menakjubkan dalam penyembuhan yang cepat.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata : “Pada suatu ketika aku pernah jatuh sakit, tetapi aku tidak menemukan seorang dokter atau obat penyembuh. Lalu aku berusaha mengobati dan menyembuhkan diriku dengan surat Al-Faatihah, maka aku melihat pengaruh yang sangat menakjubkan. Aku ambil segelas air zamzam dan membacakan padanya surat Al-Faatihah berkali-kali, lalu aku meminumnya hingga aku mendapatkan kesembuhan total. Selanjutnya aku bersandar dengan cara tersebut dalam mengobati berbagai penyakit dan aku merasakan manfaat yang sangat besar. Kemudian aku beritahukan kepada orang banyak yang mengeluhkan suatu penyakit dan banyak dari mereka yang sembuh dengan cepat”[6]
Demikian juga pengobatan dengan ruqaa (jama’ dari ruqyah) Nabawi yang riwayatnya shahih merupakan obat yang sangat bermanfaat. Dengan ayat dan do’a yang dipanjatkan. Apabila do’a tersebut terhindar dari penghalang-penghalang terkabulnya do’a itu, maka ia merupakan sebab yang sangat bermanfaat dalam menolak hal-hal yang tidak disenangi dan akan tercapai hal-hal yang diinginkan. Yang demikian itu termasuk salah satu obat yang sangat bermanfaat, khususnya yang dilakukan berkali-kali. Dan do’a pun berfungsi sebagai penangkal bala’ (musibah), mencegah dan menyembuhkannya, menghalangi turunnya, atau meringankannya jika ternyata sudah sempat turun. [7]
“Tidak ada yang dapat mencegah qadha’ (takdir) kecuali do’a, dan tidak ada yang dapat memberi tambahan pada umur kecuali kebajikan” [8]
Tetapi yang harus dimengerti dengan cermat, yaitu bahwa ayat-ayat, dzikir-dzikir, do’a-do’a dan beberapa ta’awudz (permohonan perlindungan kepada Allah) yang dipergunakan untuk mengobati atau untuk ruqyah pada hakikatnya pada semua ayat, dzikir-dzikir, do’a-do’a dan ta’awwudz itu sendiri memberi manfaat yang besar dan juga dapat menyembuhkan. Namun, ia memerlukan penerimaan (dari orang yang sakit) dan kekuatan orang yang mengobati dan pengaruhnya. Jika suatu penyembuhan itu gagal, maka yang demikian itu disebabkan oleh lemahnya pengaruh pelaku, atau karena tidak adanya penerimaan oleh pihak yang diobati, atau adanya rintangan yang kuat di dalamnya yang menghalangi reaksi obat.
Pengobatan dengan ruqyah ini dapat dicapai dengan adanya dua aspek, yaitu dari pihak pasien (orang yang sakit) dan dari pihak orang yang mengobati
Yang berasal dari pihak pasien adalah berupa kekuatan dirinya dan kesungguhan bergantung kepada Allah, serta keyakinannya yang pasti bahwa Al-Qur’an itu memang penyembuh sekaligus rahmat bagi orang-orang yang beriman dan ta’awwudz yang benar yang sesuai antara hati dan lisan, maka yang demikian itu merupakan suatu bentuk perlawanan terhadap penyakit. Dan seseorang yang melakukan perlawanan tidak akan memperoleh kemenangan dari musuh kecuali dengan dua hal, yaitu :
Pertama : Keadaan senjata yang dipergunakan haruslah benar, bagus dan kedua tangan yang menggunakannya pun harus kuat. Jika salah satu dari keduanya hilang, maka senjata itu tidak banyak berarti, apalagi jika kedua hal di atas tidak ada, yaitu, hatinya kosong dari tauhid, tawakkal, takwa, tawajjuh (menghadap, bergantung sepenuhnya kepada Allah) dan tidak memiliki senjata.
Kedua : Dari pihak yang mengobati dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah juga harus memenuhi kedua hal di atas [9]. Oleh karena itu, Ibnut Tiin rahimahullah berkata : “Ruqyah dengan menggunakan beberapa kalimat ta’awwudz dan juga yang lainnya dari Nama-Nama Allah adalah pengobatan rohani. Jika dilakukan oleh lisan orang-orang yang baik, maka dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala kesembuhan tersebut akan terwujud” [10]
Para ulama telah sepakat membolehkan ruqyah dengan tiga syarat, yaitu : [11]
[1]. Ruqyah itu dengan menggunakan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala, atau Asma dan sifat-Nya, atau sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
[2]. Ruqyah itu boleh diucapkan dalam bahasa Arab atau bahasa lain yang difahami maknanya.
[3]. Harus diyakini bahwa bukanlah dzat ruqyah itu sendiri yang memberikan pengaruh, tetapi yang memberi pengaruh itu adalah kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sedangkan ruqyah hanya merupakan salah satu sebab saja. [12]
[Disalin dari buku Do’a & Wirid Mengobati Guna-Guna Dan Sihir Menurut Al-Qur’an Dan As-Sunnah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Cetakan Keenam Dzulhijjah 1426H/Januari 2006M]
_________
Footnotes
[1]. Ruqyah jama’nya adalah ruqaa, yaitu bacaan-bacaan untuk pengobatan yang syar’i (yaitu berdasarkan pada riwayat yang shahih, atau sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh para ulama).
[2]. Lihat Al-Jawaabul Kaafi Liman Sa’ala Anid Dawaa-isy Syaafi (jawaban yang memadai bagi orang yang bertanya tentang obat penyembuh yang mujarab) atau Ad-Daa’wad Dawaa’ (penyakit dan obatnya) karya Ibnul Qayyim (hal.7)
[3]. Lihat Zaadul Ma’aad karya Ibnul Qayyim (IV/6, IV/352)
[4]. Lihat Zaadul Ma’aad (IV/352)
[5]. Lihat sumber-sumber sebelumnya Zaadul Ma’aad (IV/6, 352)
[6]. Lihat Zaadul Ma’aad (IV/178) dan Al-Jawaabul Kaafi (hal. 23)
[7]. Lihat Al-Jawaabul Kaafi (hal. 22-25)
[8]. HR Al-Hakim I/493, Ibnu Majah no. 4022, Ahmad V/277, 280, 282 dan Ath-Thahawi no. 3069 dari Tsauban dan At-Tirmidzi no. 2139, Ath-Thahawi dalam Musykilul Autsaar VIII/78 no 3068 dari Salman dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani, lihat Silsilah Al-Ahaadits Ash-Shahiihah no. 154
[9]. Lihat Zaadul Ma’aad IV/67-68
[10]. Fathul Baari (X/196)
[11]. Lihat Fathul Baari (X/195), juga Fataawa Al-Allamah Ibni Baaz (II/384)
[12]. Lihat Al-Ilaaj bir Ruqaa Minal Kitaab wa Sunnah hal. 83
Jumat, 16 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar