Jumat, 16 Oktober 2009

Merenunglah, Dia Pasti Dekat!

Tentang seorang yang berwujud manusia namun berbaris di antara jajaran setan; dia datang kepadamu sebagai utusan iblis sembari menarikmu ke lumpur nafsu, dan meyakinkanmu untuk selalu tenggelam larut dalam kehidupan materi. Rerenunglah untuk sesaat tentang keadaannya, dan mintailah menjelasan darinya lalu kau amati benarkah dia puas dengan keadaannya sendiri? Ataukah dia yang menderita juga hendak menderitakan orang malang lainnya?
K
etahuilah, sesungguhnya syarat pertama dalam menundukkan diri dan beranjak menuju Allah SWT ialah tafakkur ‘merenung’. Pada jenjang ini, tafakkur yaitu seseorang dalam setiap siang dan malamnya menyempatkan beberapa saat—walau untuk beberapa saat saja—berfikir dan merenung tentang Tuhannya; Dzat yang telah mendatangkannya ke dunia ini, menyiapkan segala sarana ketenangan hidup untuknya, menyempurnakan dirinya dengan kesehatan dan daya-daya tubuh yang masing-masing melakukan fungsinya yang mengagumkan akal setiap orang, dan menghamparkan berbagai macam nikmat dan rahmat di hadapannya. Dari sisi lain, Alah SWT juga mengutus nabi sebanyak ini, menurunkan sejumlah kitab suci kehidupan, membukakan jalan-jalan lurus dan arahan-arahan menuntun.

Di hadapan semua karunia ini, apakah tanggung jawab kita terhadap Sang Tuan Pemilik segala sesuatu? Apakah semua karunia ini hanya untuk kehidupan hewani ini dan memuaskan hawa nafsu saja, sehingga kita benar-benar tidak lagi beda dengan semua binatang? Ataukah ada maksud lain di balik itu semua? Apakah para nabi yang mulia, manusia-manusia sempurna yang terhormat, orang-orang bijak yang besar, dan ulama yang mengajarkan hukum-hukum akal dan wahyu kepada setiap rakyatnya dan memperingatkan mereka akan syahwat kebinatangan dan akan dunia yang fana ini, apakah mereka semua itu pernah memerangi karunia-karunia itu? Apakah mereka semua itu seperti kita yang tidak tahu kemaslahatan kita sendiri yang larut dalam kubangan hawa nafsu?

Sejenak saja manusia yang berakal itu berfikir, ia akan menyadari ada sesuatu di balik semua karunia itu; bahwa maksud penciptaan dan pengadaan ini ialah alam luhur yang lebih besar, dan bahwa kehidupan dunia ini bukanlah maksud yang sesungguhnya. Maka itu, manusia yang berakal sepatutnya berfikir tentang dirinya sendiri; menyayangi keadaan dirinya yang memprihatinkan, dan berdialog dengan batinnya: "Duhai jiwa yang malang, yang bertahun-tahun lamanya telah menghabiskan umur untuk memuaskan hawa nafsu lalu tidak lagi menyisakan untuk dirimu selain penyesalan, alangkah baiknya bila sedikit saja kau iba pada keadaan dirimu, kau malu pada Pemilik semesta alam, kau langkahkan kakimu barang setapak menuju tujuan utamamu, langkah yang membawamu masuk ke dalam kehidupan dan kebahagiaan abadi.

"Duhai jiwa yang sengsara! Akankah kau biarkan kebahagiaan abadimu ditawar dengan kepuasan jiwa yang terbatas dan berkesudahan, kepuasan yang belum tentu bisa dipenuhi meski dengan segenap jerih payah. Duhai dikau jiwa yang sengsara, cobalah untuk sekejap saja berfikir tentang keadaan para pencari dunia terdahulu dan generasi mereka yang terakhir kau lihat, perhatikan dan amatilah betapa besarnya usaha dan kesusahan yang mereka tanggung ketimbang ketenangan yang mereka dapatkan, padahal ketenangan itu sendiri bukanlah janji untuk setiap orang.

“Tentang seorang yang berwujud manusia namun berbaris di antara jajaran setan, dia datang kepadamu sebagai utusan iblis sembari menarikmu ke lumpur nafsu, dan meyakinkanmu untuk selalu tenggelam larut dalam kehidupan materi, merenunglah untuk sesaat tentang keadaannya, dan mintailah menjelasan darinya lalu kau amati benarkah dia puas dengan keadaannya sendiri? Ataukah dia yang menderita juga hendak menderitakan orang malang lainnya?”

Bagaimanapun, memintalah kepada Allah dengan sepenuh rasa lemah dan ketergantungan mutlak agar Dia mengenalkan kepadamu tugas-tugas dirimu yang telah ditetapkan antara dirimu dan diri-Nya. Adalah sebuah harapan bahwa tafakkur—dalam rangka mujahadah ‘menundukkan’ setan dan nafsu ammarah—dapat melempangkan jalan lain di hadapanmu sampai kau singgah di manzil (tahapan) lain dari mujahadah. [islammuhammadi/mt/am/ Chehel Hadis: 1378 HS; hal. 6-7]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar